UU Cipta Kerja Sudah Disahkan, Tapi Dikritik Cacat Formil

Ilustrasi Paripurna DPR
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Agus Mulyono Herlambang mengkritik draf UU Cipta Kerja yang masih dalam proses finalisasi naskah padahal sudah resmi disahkan dan anggota DPR yang belum menerima naskah RUU Cipta Kerja saat sidang paripurna tanggal 5 Oktober 2020. Selain itu, terdapat isu lainnya yang mengatakan UU Cipta Kerja belum selesai di tahap timmus dan juga pembicaraan tingkat I. 

Terpopuler: Pemprov Jakarta Padamkan Lampu Serentak, Polisi Gerebek Markas Judi Online

“Disahkannya UU Cipta Kerja terlihat sangat buru-buru, dari mulai tertutup pembahasan UU Cipta Kerja di masa pandemi, dimasukkannya sidang paripurna sampai saat sudah disahkan naskah UU Cipta Kerja masih difinalisasi yang konon katanya takut ada typo. Dari sini saja terlihat UU Cipta Kerja cacat formil. Semoga saja tidak mengubah secara diam-diam pasal-pasal yang telah ada sebelumnya,” kata Agus, Senin 12 Oktober 2020.

Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Masih Diyakini Bisa Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Prabowo Bubarkan Satgas Sosialisasi UU Cipta Kerja

Agus menjelaskan undang-undang yang disahkan secara buru-buru tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat, serta dapat dianggap sebagai cacat hukum formil dan material. Diketahui, lebih lanjut, cacat material berkaitan dengan substansi UU sedangkan cacat formil berkaitan dengan prosedur pembuatan UU. 

“Sungguh luar biasa UU Cipta Kerja yang hampir seribu halaman itu cukup singkat pembahasannya di DPR, dan disahkan dengan begitu cepat. Alhasil draf UU Cipta Kerja setelah disahkan masih harus difinalisasi bahkan anggota DPR pun belum menerima draf UU Cipta Kerja,” katanya.

Menkum Sebut Revisi UU Ketenagakerjaan Tak Perlu Lewat Prolegnas DPR

Agus mengatakan UU Cipta Kerja tidak menciptakan birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance. Sebab, untuk mewujudkan itu, UU Cipta Kerja harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni kepastian hukum, kemanfataan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik. 

Namun, jika dilihat yang terjadi dalam pengesahan UU Cipta Kerja, Agus mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas-asas di atas, diantaranya DPR dalam pembentukannya tidak terbuka saat melakukan pembahasan UU Cipta Kerja. Lalu, sebelum disahkan pun UU Cipta Kerja masih melakukan finalisasi agar tidak ada typo, hal ini berarti DPR tidak cermat dalam pembentukan UU Cipta Kerja. 

Kemudian, kata agus, bila berbicara asas keberpihakan, ia mempertanyakan UU Cipta berpihak kepada para investor kapitalis dan oligarki atau rakyat kecil. Pemerintah dan DPR, lanjutnya, dalam pembuatan UU Cipta Kerja justru menyalahgunakan wewenangnya dengan tergesah-gesa mengesahkan UU Cipta Kerja tanpa kejelasan prosedur pembentukan UU yang baik.

Mengenai persoalan draf UU Cipta Kerja saat sidang paripurna belum dibagikan kepada anggota DPR. Agus merasa ini sangat aneh. "Bagaimana bisa DPR mengetok sah, padahal anggota DPR nya saja belum memegang draf UU Cipta Kerja. Berarti itu bisa jadi juga belum dibaca oleh anggota DPR yg hadir dalam sidang paripurna," katanya.

Sekali lagi, Agus tekankan pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil. “Dan, sudah seharusnya jika terdapat uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya mempertimbangkan dengan matang dan memutus bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Agus. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya