DPR Beberkan Penyesatan Info UU Cipta Kerja: PHK sampai Pesangon

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR ke-10
Sumber :
  • VIVAnews/Anwar Sadat

VIVA – Ketua Badan Anggaran DPR RI M.H. Said Abdullah mencermati banyak misinformasi di masyarakat setelah Parlemen mengesahkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Menkum Sebut Revisi UU Ketenagakerjaan Tak Perlu Lewat Prolegnas DPR

“Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan penyesatan informasi, dan menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya miss (penyimpangan), bahkan pembelokan informasi, terjadi pada klaster ketenagakerjaan, yang mungkin saja motifnya untuk memprovokasi kalangan buruh,” Said melalui pesan tertulis, Rabu, 7 Oktober 2020.

Dia membeberkan, tidak benar bahwa tidak ada status karyawan tetap, dan perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kapan pun dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan dalam Pasal 151 Bab IV UU Ciptaker memberikan mandat yang jelas bahwa Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Pekerja mengupayakan tidak terjadi PHK.

Kadin Indonesia Bentuk Satgas Terkait Putusan MK, Bamsoet Ungkap Perlunya UU Ketenagakerjaan Baru

Baca: Bantah UU Ciptaker Disahkan Diam-diam, Luhut Jamin Kesejahteraan Buruh

Bila akan melakukan PHK, ketentuannya diatur dengan tahap yang jelas, harus melalui pemberitahuan ke pekerja, perlu ada perundingan bipartid, dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial. Jadi, tidak serta merta langsung bisa PHK.

Buruh Menang Uji Materi UU Cipta Kerja di MK, Airlangga Bakal Lapor ke Prabowo

Pasal 153 Bab IV UU Ciptaker juga mengatur pelarangan PHK dikarenakan beberapa hal, misalnya berhalangan kerja karena sakit berturut turut selama 1 tahun, menjalankan ibadah karena diperintahkan agamanya, menikah, hamil, keguguran kandungan, menyusui, memiliki pertalian darah dengan pekerja lainnya di satu perusahaan, menjadi anggota serikat pekerja, mengadukan pengusaha kepada polisi karena yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan, berbeda agama, jenis kelamin, suku, aliran politik, kondisi fisik, keadaaan cacat karena sakit atau akibat kecelakaan.

Pasal 154 Bab IV UU Ciptaker mengatur PHK hanya boleh karena: penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan tutup karena kerugian, perusahaan tutup karena force majeur, penundaan kewajiban pembayaran utang, perusahaan pailit, perusahaan merugikan pekerja, pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja ditahan oleh pihak berwajib, pekerja sakit berkepanjangan lebih dari 1 tahun.

Selain itu, menurut politikus PDIP, tidak benar kabar bahwa karyawan alih daya/outsourching bisa diganti dengan kontrak seumur hidup. Tidak ada pengaturan seperti ini di dalam UU Cipta Kerja. Pasal 66 UU Cipta Kerja menjelaskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

“Bahkan UU Ciptaker mengatur perjanjian kerja tersebut harus memberikan perlindungan kesejahteraan pekerja serta kemungkinan perselisihan yang timbul harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.

Dia membeberkan, tidak benar juga informasi bahwa hak cuti karyawan dihilangkan. Pasal 79 UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib memberikan cuti. Cuti yang dimaksud, antara lain cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

Tidak benar juga kabar bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Pada Pasal 82 UU Cipta Kerja memberikan jaminan sosial tenaga kerja, bahkan ditambahkan. Jaminan sosial meliputi kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian dan kehilangan pekerjaan.

Keliru jika disebutkan bahwa libur hari raya hanya di tanggal merah. Tidak ada pengaturan seperti ini di dalam UU Cipta Kerja.

Dan tidak benar kabar istirahat salat Jumat hanya satu jam. Pasal 79 UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib memberikan istirahat. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Ia juga menganggap tidak benar informasi uang pesangon dihilangkan. Ketentuan pesangon tertuang di dalam pasal 156 Bab IV UU Cipta Kerja. Ketentuan ini mengatur pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, dan dijelaskan dengan rinci pada pasal ini.

“Upah buruh dihitung per jam, tidak ada ketentuan seperti ini di dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 88 UU Ciptaker mengatur mekanisme pengupahan. Upah meliputi upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, dan hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah,” kata Said.

Ia juga membantah kabar ada penghapusan UMP, UMK dan UMSP. Hal itu diatur dalam pasal 88 C bab IV UU Cipta Kerja. Pasal ini mengatur Gubernur menetapkan UMP dan menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Pertimbangan penetapan upahnya berdasarkan kondisi ekonomi (ekonomi daerah, inflasi), dan ketenagakerjaan.

“Tidak benar bahwa pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon. Ketentuan ini diatur dalam pasal 61 UU Ciptaker mengatur dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya