Penjelasan RUU Cipta Kerja Melawan Butir-butir Keberatan Buruh (I)

Empat belas ribu orang mogok kerja dan turun ke jalan berdemonstrasi untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law Cipta Kerja di Tangerang, Banten, Selasa, 6 Oktober 2020.
Sumber :
  • VIVA/Sherly

VIVA – Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pro dan kontra terjadi di tengah masyarakat. Kaum pekerja dan kaum buruh membeberkan alasan keberatan mereka lewat aksi demo. Apa saja itu?

Ratusan Buruh Bekasi Gelar Aksi, Tuntut Kenaikan Upah hingga 10 Persen

Tercatat ada beberapa poin yang membuat para buruh dan bekerja merasa was-was. Undang-undang ini dianggap banyak merugikan mereka. Namun tak dipungkiri masih banyak yang salah kaprah terhadap butir-butir RUU Citpa Kerja.

DPR yang mendapat sorotan, mencoba menjelaskan beberapa isu yang beredar santer di tengah kaum buruh dan pekerja yang tak sepenuhnya benar.

Tolak Gugatan Buruh, MK Patenkan Perppu Ciptaker

Mengenai keberatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota dihapus. Menanggapi itu, DPR menjelaskan beberapa poin. Pertama,  upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah. 

Lalu Upah Minimum Provinsi (UMP) wajib ditetapkan gubernur. Sedangkan Upah MinimumKabupaten (UMK) juga tetap ada. Kenaikan Upah Minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum yang diatur dalam peraturan pemerintah. 

Presiden Partai Buruh: Kalau DPR Berani Sahkan Omnibus Law, Mogok Nasional adalah Jawaban

DPR juga menjelaskan penyederhanaan struktur upah minimum dengan cara menghapus Upah Minimum Sektoral (UMS). Namun setelah RUU Cipta Kerja disahkan, bagi daerah yang telah menetapkan UMS maka akan tetap diberlakukan.

Bagi usaha mikro dan kecil berlaku upah berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Sekurang-kurangnya sebesar prosentase tertentu dari rata-rata konsumsi rakyat.

Ketakutan para buruh dan pekerja juga terkait bakal ada pengurangan nilai pesangon dari 32 kali menjadi 25 kali. Menanggapi itu, DPR memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima pekerja/buruh.

Lalu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah skema baru terkait jainan ketenagakerjaan yang tidak mengurangi manfaat dari bergabai jaminan sosila lainnya seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Sedangkan untuk besaran pesangon diatur sebesar 32 kali gaji namun pelaksanaannya hanya 7 perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan sehingga ada kepastian mengenai besaran pesangon yang diterima pekerja.

Baca juga: Menko Airlangga Beberkan Manfaat UU Ciptaker bagi UMKM hingga Pekerja

Jumlah pesangon yang tinggi dibanding negara lain juga berdampak keengganan investor berinvestasi. Dalam RUU Cipta Kerja, jumlah maksimal pesangon menjadi 25 kali dengan pembagian 19 kali ditanggung pemberi kerja/usaha dan 6 kali diberikan melalui JKP yang dikelola pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan untuk persyaratan PHK tetap mengikuti ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

Ketakutan kaum buruh/pekerja yang selanjutnya terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup  tidak ada batas waktu kontraknya. Menjawab itu, dalam RUU Cipta Kerja yang disahkan DPR dijelaskan.

Pertama, PKWT hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (tidak tetap). Kedua, PKWT memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja dan perlindungan  hak pekerja sampai pekerjaan selesai.

Ketiga, PKWT berakhir, pekerja berhak mendapatkan uang kompensasi sesuai dengan masa kerja (diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah). Keempat, syarat PKWT tetap mengacu UU 13/2003 tetang ketenagakerjaan dengan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan dunia kerja.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya