DPR Sahkan UU Cipta Kerja, KSPI: Kami Merasa Dikhianati
- VIVA/Kenny Putra
VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja menuai polemik. Sebelumnya, saat pembahasan rumusan RUU Cipta Kerja, federasi buruh sudah menyarankan agar klaster ketenagakerjaan dihapuskan.
Hal ini disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Said mengatakan serikat buruh merasa dikhianati oleh DPR RI.
"Merasa dikhianati oleh DPR RI yang dari awal kita ikut dalam pembentukan, DPR sendiri yaitu Panja Baleg dan tim 32 federasi serikat pekerja bergabung dalam tim perumus," kata Said di Jakarta, Selasa 6 Oktober 2020.
Said menyebutkan, sikap federasi serikat pekerja dalam tim perumus tersebut sudah tegas. Federasi serikat pekerja meminta agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Menaker Bantah RUU Cipta Kerja Bikin Buruh Rentan PHK
"Kita tidak menghalangi investasi, kita setuju investasi. Kita dukung, kami bersama Presiden Jokowi. Buruh Indonesia mendukung Presiden Jokowi untuk mengundang investasi, dengan investasi akan tercipta dengan lapangan pekerjaan," tutur Said.
Namun, federasi serikat buruh meminta agar perlindungan terhadap hak-hak dasar buruh yang sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak dikurangi.
"Kami minta hak-hak dasar dari buruh yang diatur dalam UU 13 Tahun 2003 jangan dikurangi. Namun jika tidak ada yang diatur dalam UU 13 Tahun 2003 mari kita diskusikan, misal tentang industri startup Indonesia dan industri UMKM," ujar Said.
Said juga menyebutkan, aksi mogok nasional yang dilakukan oleh buruh dari 6 Oktober hingga 8 Oktober mendatang merupakan bentuk kekecewaan terhadap disahkannya UU Cipta Kerja. Selanjutnya, federasi serikat buruh akan mengambil langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi, jika tidak ada sikap yang diambil oleh Presiden Jokowi.
"Kami berharap kepada Presiden Jokowi bisa mengapresiasi dan mendengar suara buruh. Berikutnya langkah hukum kita ajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, tapi ini belum dilihat ada dua gugatan, gugatan formal, dan gugatan secara material judicial review," tutur Said. (art)