Omnibus Law Jadi UU, Dahlan Iskan: Ini Pemerintahan Paling Kuat

Dahlan Iskan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, menilai dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Senin kemarin, 5 Oktober 2020, mengindikasikan pemerintahan di era Jokowi paling kuat selama 22 tahun terakhir.

Plus dan Minus Bila Jokowi Bikin Partai Baru

"Saya kagum pada semangatnya-pemerintah dan DPR. Dari segi politik, inilah pemerintahan yang paling kuat selama 22 tahun terakhir," kata Dahlan dalam sebuah artikel yang berjudul 'Menundukkan Pemerintah' yang dikutip VIVA di website pribadinya, disway.id, Selasa, 6 Oktober 2020.

"Pemerintah sekarang lebih kuat dari zaman Presiden Gus Dur, Megawati, SBY, apalagi BJ Habibie," imbuhnya.

Gerindra Ajukan Syarat ke Jokowi dan Gibran Jika Ingin Jadi Kader Partai

Baca: 14 Aturan PHK di UU Cipta Kerja yang Bikin Buruh Waswas

Menurut Dahlan, Habibie memang bisa menguatkan Rupiah dari semula Rp17.000 menjadi Rp8.000, hanya dalam waktu dua tahun. "Tapi pemerintahannya hanya seumur jagung," katanya.

Relawan AAJ Sowan ke Jokowi, Tegaskan Tidak Bicara Politik

Gus Dur dan Megawati memiliki basis pendukung yang kuat. Megawati yang merupakan putri proklamator punya basis pendukung secara ideologis dan biologis dari Soekarno, toh nyatanya kalah di pilpres. Gus Dur pun begitu. Memiliki basis kultural yang kuat di NU tapi hanya bertahan setengah periode.

SBY, kata Dahlan, agak berbeda. Meskipun melewati krisis tsunami dan keuangan 2008, kekuatan dukungan kepada SBY membuatnya bisa melenggang menjadi presiden dua periode.

"Tapi dukungan politik di DPR tidak sekuat pemerintah sekarang. Waktu itu PDI Perjuangan oposisi frontal. PKS main petak umpet Tapi SBY pandai bermain di antara arus-arus politik. Sekarang hanya PKS yang oposisi frontal. Tapi kekuatannya kursinya kecil sekali," ujar Dahlan.

Praktis sekarang ini, kata Dahlan, DPR memberikan dukungan penuh kepada pemerintah. Mulai dari revisi UU KPK, UU COVID-19, dan terakhir Omnibus Law. "Semua begitu mulusnya lolos di DPR," ungkapnya.

Belum lagi soal praktik-praktik sehari-hari pengelolaan negara. Ia melihat relasi antara pemerintah dan DPR semuanya berjalan mulus. "Begitu enak menjadi menteri-menteri sekarang ini. Tidak harus menghadapi sikap DPR yang sangat garang," kata Dahlan.

"Saya begitu kagum dengan kekuatan pemerintah sekarang. Juga pada semangat melakukan pembaharuan: Inikah revolusi mental yang dimaksud?" ungkapnya.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat pengesahan RUU Cipta Kerja

Foto: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Era Ketidaksinkronan Aturan Berakhir

Sebagai mantan Menteri BUMN yang juga seorang pengusaha, Dahlan menganggap UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR ini secara teori menandai berakhirnya era ketidaksingkronan aturan di republik ini.

Bayangkan, ada 79 UU yang haru ditinjau ulang dan dirangkum hanya dalam satu UU. Ada 11 klaster dan 1.244 pasal dalam UU Cipta Kerja atau yang sering disebut Omnibus Law.

Ketidaksingkronan aturan ini memang sudah lama menjadi persoalan. Seolah hanya jadi wacana nasional tahunan yang tak kunjung selesai. Nah, pemerintahan Jokowi ini berusaha menyelesaikan ketidaksingkronan itu, dengan menggabungkannya menjadi satu, UU Cipta Kerja. 

"Tempulu DPR-nya tidak rewel. Tempulu DPR lagi baik-baik kepada pemerintah. Tapi tenaga kerja pasti akan berontak dengan lahirnya UU Cipta Kerja ini," ujarnya.

Menurut Dahlan, sejak awal pun sudah diketahui bahwa tenaga kerjalah yang akan terdampak langsung UU tersebut. Judulnya juga sudah dipilih dengan yang paling bersahabat dengan perasaan tenaga kerja. UU Cipta Kerja. "Dikira dengan judul itu tenaga kerja akan manggut-manggut dan berdecak kagum," katanya.

Harus diakui, semua pengusaha memang mengeluhkan UU Tenaga Kerja yang lama, yang dilahirkan pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Bagaimana misalnya ada seorang karyawan yang mencuri dipecat tapi harus mendapat pesangon.

Nah, di UU Cipta Kerja ini bukan hanya ketentuan lama itu yang dihapus, tapi juga upah minimum cuti pribadi, karyawan kontrak, outsourcing dan banyak lagi. 

"Dasar pemikirannya jelas: Semua ketentuan lama itu tidak membuat buruh kita punya daya saing. Kalah produktif. Produktivitas satu buruh di Tiongkok disamakan dengan empat atau delapan buruh di sini," ujar Dahlan.

UU Cipta Kerja ini tidak hanya soal tenaga kerja. Yang tak kalah penting adalah klaster tentang izin usaha. Menurutnya, dasar pemikiran UU ini sangat modern. Karena tidak semua jenis usaha perlu izin. Semua berdasarkan tingkat risikonya.

Dengan kata lain, usaha yang tingkat risikonya rendah tidak perlu izin, hanya cukup pendaftaran. Sedangkan yang memiliki risiko tinggi, lingkungan, kecelakaan kerja dan lainnya maka perlu izin. "Ini hebat sekali," ucapnya. Kata kuncinya adalah penyederhanaan izin usaha. 

Pada akhirnya, lanjut Dahlan, pemerintah saat ini sudah mampu 'menundukkan' DPR. Sekarang tinggal menunggu kiat pemerintah untuk mengendalikan pergolakan buruh. Dan, lebih jauh lagi, mungkinkah pemerintah bisa 'mengalahkan dirinya sendiri'.
 
"Bukankah semangat aparat untuk mencari uang dan objekan dari perizinan selama ini melebihi bahaya laten komunis...Semua itu adalah bagian dari pemerintah yang harus ditundukkan pemerintah sendiri," tutupnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya