UU Cipta Kerja Disahkan, Presidium KAMI Tulis Surat Terbuka ke Jokowi
VIVA – Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin, menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Din mengatakan, awalnya dia menulis surat terbuka sebagai kritik ke pemerintah karena dia khawatir dianggap menciptakan kegaduhan.Â
Namun, belakangan Din menilai justru sebenarnya pemerintah sendiri yang menciptakan kegaduhan-kegaduhan ini. Tentu yang terakhir, adalah pengesahan UU Cipta Kerja yang mendadak dan dimajukan dari jadwal semula. Awalnya RUU itu akan dibawa ke paripurna 8 Oktober 2020, tapi tiba-tiba dimajukan pada Senin, 5 Oktober 2020.
Justru dengan langkah pemerintah yang tentu bersama DPR, kata Din, malah menimbulkan kegaduhan. Aksi-aksi penolakan sebelumnya, membuktikan bahwa UU itu banyak yang tidak menyetujuinya.
"Kami tidak dapat memahami apakah pemerintah bersungguh-sungguh ingin menciptakan ketakgaduhan atau sebaliknya justru ingin mendorong kegaduhan itu sendiri?" kata Din dalam suratnya, Selasa, 6 Oktober 2020.
Baca juga:Â Demokrat Beberkan Pasal-pasal Bermasalah dalam UU Cipta Kerja
Din heran dengan kecenderungan pemerintah bersama DPR, untuk mengesahkan sejumlah RUU untuk menjadi UU. Seperti sebelumnya UU Minerba, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu yang dikebut menjadi UU Keuangan untuk Penanggulangan COVID-19. Termasuk UU Cipta Kerja yang dinilai potensial menimbulkan kegaduhan nasional yang lebih besar lagi.
"Sayangnya pemerintah tidak menyadari dan bahkan terkesan mendukung DPR untuk bergesa-gesa mengesahkannya pada waktu malam, tanpa membuka ruang bagi aspriasi rakyat," ujar mantan Ketum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Pemerintah bersama DPR, menurut Din, juga tetap bersikukuh melaksanakan Pilkada 2020. Walaupun banyak organisasi masyarakat seperti PBNU, PP Muhammadiyah, MUI, dan majelis-majelis keagamaan, serta organisasi-organisasi lain mengusulkan penundaan. Ini juga menimbulkan kegaduhan, yang justru berawal dari kebijakan pemerintah sendiri.
"Pemerintah seperti abai terhadap pilkada yang potensial menciptakan klaster baru persebaran wabah, dan sepertinya menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat dan merasa berkuasa untuk memenangkan kepentingannya di atas kepentingan rakyat banyak," ujar pria asal Sumbawa NTB itu.
Jika terjadi kegaduhan akibat kebijakan yang tidak bijak itu, menurut dia, bukan rakyat yang salah dan dapat dipersalahkan. Tapi pemerintah yang sesungguhnya penyebab kegaduhan itu. Sementara pemerintah sendiri berharap, agar ada stabilitas di tengah pandemi COVID-19 saat ini.
Â