Pusat Studi Pancasila UGM Usul Sejarah G30S Diriset Ulang Mendalam
- ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
VIVA – Pusat Studi Pancasila (PSP) ugm">Universitas Gadjah Mada (UGM) mengusulkan kepada kalangan akademisi dan sejarawan untuk melakukan riset mendalam terhadap penulisan sejarah peristiwa 30 September 1965.
Usulan penulisan ulang sejarah peristiwa 30 September 1965 ini disampaikan oleh Ketua PSP UGM, Agus Wahyudi. Agus menyampaikan, informasi sejarah peristiwa 30 September 1965 yang diterima masyarakat selama ini mungkin terkait kepentingan penguasa di masa lalu.
Agus menyarankan agar peristiwa 30 September 1965 betul-betul bersumber dan terbuka untuk mendapatkan ujian atau validasi dari sumber yang beragam pada pusat-pusat riset dan pengkajian ilmiah tentu sangat diharapkan mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
“Tentu ini berlaku bukan hanya dalam bidang sejarah, tetapi usaha pencarian kebenaran pada umumnya dalam tradisi ilmu pengetahuan,” kata Agus, Senin 5 Oktober 2020 dalam keterangan tertulisnya.
Baca juga: Ridwan Kamil Minta Buruh Menahan Diri Sikapi Pengesahan UU Cipta Kerja
Agus menerangkan, satu-satunya cara dan harapan yang paling mungkin untuk mengatasi dan paling tidak mendekati kebenaran dari kontroversi peristiwa 30 September 1965 adalah pendekatan ilmiah. Disertai dengan kajian yang serius dan sesuai standar dengan mutu yang tinggi di masyarakat kampus dan lembaga riset yang menangani isunya.
“Bahkan buku-buku pelajaran sekolah dan kebijakan politik negara kelak perlu merujuk pada hasil-hasil riset dan pekerjaan ilmiah yang menggunakan standar yang diakui itu,” papar Agus.
Foto: Mobil Dinas Letjen Ahmad Yani (ANTARA/Andi Firdaus)
Agus menuturkan, peristiwa 30 September 1965 merupakan bagian dari perkembangan narasi dalam kehidupan publik dan politik. Menurutnya, orang mungkin bisa melihat bahwa kontroversi tentang sebuah isu tertentu akan bisa merangsang partisipasi dan keterlibatan publik yang lebih luas, dan mendorong kedewasaan pada akhirnya.
“Saya melihat asumsi ini mungkin benar tapi jika perkembangan narasi itu terjadi tidak dengan cara rekayasa, termasuk mobilisasi pendukung dengan menggunakan kekuatan uang atau kekuasaan, termasuk ancaman pemaksaan terhadap posisi atau pendapat yang berbeda,” papar Agus.
Agus menjabarkan, terkait Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober menurutnya tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pemakaian Pancasila, lanjut Agus, dalam peristiwa pembunuhan para jenderal dan merupakan titik hitam dalam sejarah justru menunjukkan bagaimana penguasa telah menyalahgunakan Pancasila demi kekuasaan.
"Peristiwa pembunuhan para jenderal dan kejadiannya sesudahnya dengan ribuan nyawa anak bangsa Indonesia terbunuh oleh sesama bangsa sendiri, tanpa melalui prosedur hukum dan pengadilan sebagian besar jelas menunjukkan bagaimana sekelompok orang menggunakan Pancasila demi tujuan politiknya. Akhirnya hanya mewariskan dendam kesumat dan permusuhan yang berlarut larut di kalangan generasi penerus," ungkap Agus.
Agus menambahkan, terkait terus dihembuskannya isu kebangkitan PKI oleh kelompok tertentu disebutnya tidak lepas dari upaya kepentingan politik.
“Kepentingan politik jelas. Mengawetkan memori termasuk ketakutan adalah dalam rangka menjaga hegemoni dan karena itu peluang untuk bisa mengontrol perilaku,” paparnya.
Agus berpendapat bahwa sudah saatnya para akademisi untuk turun tangan menangani berbagai isu kontroversial ini berdasarkan hasil riset yang mendalam. Meski riset tersebut menurutnya cukup berisiko bagi akademisi, sejarawan maupun pemerintah yang berkuasa.
“Itu tugas akademisi yang penting. Semua pekerjaan berisiko. Namun standar dan cara bekerja yang profesional dengan mutu yang tinggi harusnya selalu dipegang oleh setiap akademisi termasuk akademisi di bidang sejarah yang menangani isu-isu kontroversial seperti sejarah kelam di republik kita ini,” tutup Agus.