ICW Prediksi Pemberantasan Korupsi Bisa Makin Suram

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana
Sumber :
  • Antarafoto/Kurnia Ramadhana

VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi maraknya penyunatan hukuman terpidana kasus korupsi yang dilakukan Mahkamah Agung. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal tersebut bisa berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi di masa mendatang.

“Nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram jika Mahkamah Agung tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi,” kata Kurnia kepada awak media, Rabu, 30 September 2020.

Baca juga: ICW: Kami Menolak Lupa kepada KPK tentang Keberadaan Harun Masiku

Kurnia sepakat dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, yang menyebut tren pemotongan hukuman koruptor muncul usai Artidjo Alkostar pensiun dari MA. Menurut Kurnia, masyarakat merindukan sosok Artidjo yang tidak segan menghukum koruptor dengan pidana tinggi.

"Dalam kondisi peradilan yang semakin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di MA," ujarnya.

Berkaca pada data ICW, lanjut Kurnia, rata-rata hukuman pelaku korupsi di sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tidak hanya itu, pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. 

“Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi pada sepanjang tahun 2019 sebesar Rp12 triliun. Akan tetapi pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp750 miliar. Sepuluh persennya saja tidak dapat,” tuturnya.

Kurnia menambahkan, dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0-4 tahun), sedangkan vonis berat hanya 9 orang (di atas 10 tahun). Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang.

Profil Ibnu Basuki Widodo, Hakim yang Kini Jadi Pimpinan KPK

Karena itu, tekan Kurnia, putusan hakim yang kerap kali ringan kepada terdakwa korupsi memiliki implikasi serius. Pertama, menegaskan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi. Kedua, meluluhlantakkan kerja keras penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. 

“Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera, baik bagi terdakwa maupun masyarakat,” ujarnya. (art)

Kiprah Johanis Tanak Kembali Terpilih Jadi Pimpinan KPK, Ingin OTT Dihapus
Sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta

Metode Perhitungan Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah Jadi Sorotan

Akurasi perhitungan kerugian negara sebesar Rp 271 triliun yang diungkap Guru Besar dan ahli lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo terkait dugaan korupsi timah diragukan.

img_title
VIVA.co.id
23 November 2024