Cucu-cucu Pahlawan Revolusi dan Elite PKI Bicara soal Sejarah
- bbc
Perlukah `pelurusan sejarah`?
Sejumlah orang yang mengaku mendapat perlakuan tak adil karena dituduh berafiliasi dengan PKI, berulang kali meminta dilakukannya pelurusan sejarah terkait peristiwa `65.
Beberapa peneliti juga mengatakan sebaiknya negara minta maaf kepada korban pelanggaran HAM dalam kurun waktu 1965-1966.
Meski begitu, menurut cucu DI Pandjaitan, Samuel dan Sifra, apa yang disebut pelurusan sejarah itu tak perlu dilakukan.
"Pemerintah sudah bilang lurus sejarah kita. Nggak ada yang bilang sejarah kita nggak lurus, apalagi dalam hal G30S/PKI, kayaknya pemerintah strict," kata Samuel.
Sifra menambahkan bukti-bukti sejarah terkait dibunuhnya jenderal pada tahun `65 itu dapat dilihat di museum juga monumen.
"Kalau lihat museumnya, monumennya, itu sudah firm, itulah sejarah. Ada pengkhianatan di negara ini, ada perubahan politik secara masif, buat kami itu clear(jelas)."
Sementara, bagi Fico, permohonan pelurusan sejarah dilihatnya "terlalu muluk".
"Muluk banget kalau minta dilurusin. Maksud saya [masalah-masalah] HAM yang lebih baru aja itu kan...[tidak terselesaikan]"
Fico menambahkan setelah beranjak dewasa ia semakin enggan berdebat soal versi sejarah yang diketahuinya dari kakeknya.
"Lama kelamaan kok kayak saya harus ngelawan dunia kalau pengertian saya soal sejarah `65 seperti ini, sementara orang-orang nggak kayak gini...
"Udah lah ikutin aja karena saya percaya semakin kita dewasa ternyata kita bukan semakin bijaksana, kita semakin malas aja ngelawan dunia, capek," kata Fico.
Jika seseorang mau memahami peristiwa `65, Fico mengatakan seseorang seharusnya mempelajari dari dua sisi.
"Sejarah kan ditulis sama yang menang. Kebetulan, PKI bagian yang kalahnya. Kalau mau cari yang dalem, jangan dari yang menang aja, tapi juga gimana nih dari yang kalah."
Ia mengatakan sudah cukup bersyukur dengan langkah mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat sehingga generasinya tidak lagi dipersulit ketika melamar suatu pekerjaan.
Sebelumnya, Gus Dur sempat meminta maaf atas kejadian `65 juga mengusulkan dicabutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966, khususnya tentang Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
"Tak mau mewarisi konflik untuk membenci" dan "tak perpanjang masalah"