Febri Diansyah Pamit dan Fenomena Bedol Desa di KPK

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Kabar mengejutkan datang dari lembaga antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah seorang mantan juru bicaranya, Febri Diansyah, tiba-tiba memutuskan mundur sebagai pegawai KPK. Febri mengajukan surat pengunduran diri ke Sekretaris Jenderal KPK pada 18 September 2020.

Uji Kelayakan, Calon Dewas Mirwazi Bilang Pegawai KPK Harus Bebas dari Intervensi Kekuasaan

Sesuai ketentuan, pegawai KPK yang akan mengundurkan diri mengajukan surat pengunduran diri secara tertulis kepada lembaga setidaknya satu bulan sebelumnya. 

"Informasi yang saya terima, Biro SDM telah menerima surat pengunduran diri yang bersangkutan. Namun sejauh ini kami belum tahu yang menjadi alasannya," kata Juru Bicara KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Kamis, 24 September 2020.

Sambil Menangis, Eks Petugas Rutan KPK Menyesal Terima Uang Pungli

Baca: Febri Diansyah Ajukan Mundur dari KPK

Memang belum diketahui alasan mundurnya mantan peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) itu dari KPK. Febri hanya menyampaikan ungkapan kecintaannya kepada KPK sehingga Ia harus pamit. "Ya, dengan segala kecintaan saya pada KPK, saya pamit," kata Febri.

Ada Sosok Lain Diperiksa Bareng Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK

Mundurnya Febri dari lembaga antirasuah itu menambah daftar nama-nama pegawai KPK sebelumnya yang lebih dulu pamit meninggalkan KPK. Setidaknya sejak disahkannya Undang-Undang KPK yang baru dengan segala kontroversinya serta rencana perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), iklim kerja di KPK mulai goncang. 

Belum lagi figur pimpinan KPK yang kontroversial dan penanganan kasus korupsi Harun Masiku yang membuat KPK tersandera disebut sebagai titik nadir dari komitmen pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. 
 
Mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyebut ada beberapa karyawan KPK yang melayangkan surat pengunduran diri kepada pimpinan KPK. Setidaknya, sejak riuh UU KPK hingga akhir masa jabatannya di KPK, sudah 12 pegawai yang keluar.

Pengunduran diri para pegawai KPK disinyalir berkaitan dengan adanya peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sejumlah pegawai yang kritis dan tetap pada idealismenya memilih keluar. 

Febri sendiri, selaku juru bicara KPK kala itu, sempat menyoal ketentuan dalam UU KPK yang baru bahwa pegawai KPK akan diangkat statusnya sebagai ASN, sehingga bisa ditempatkan di institusi pemerintah mana saja. Menurutnya, yang paling utama dari pelaksanaan tugas di KPK adalah independensi.

"Apakah KPK bisa tetap independen atau tidak dalam melaksanakan tugasnya?" kata Febri.

Bedol Desa

Fenomena maraknya pegawai KPK yang mengundurkan diri ini pun dinilai Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai indikasi bahwa KPK telah memasuki masa kenormalan baru alias new normal.

Menurut Zainal, KPK semakin menuju ke arah yang keliru pasca satu tahun revisi UU KPK

"Kalau dulu normalnya memberantas korupsi, mengejar pelaku korupsi secara baik, tidak bersahabat dengan pelaku korupsi, bergaya hidup sederhana dan sebagainya, tapi sekarang kenormalan baru adalah kebalik," kata Zainal kepada awak media, Selasa, 22 September 2020.

Zainal lantas menyindir perilaku Ketua KPK Firli Bahuri yang naik helikopter untuk pulang kampung, masak nasi goreng, hingga fenomena kasus Harun Masiku. 

"Banyak lagi tindakan lainnya yang kelihatan bersahabat dalam kasus Harun Masiku, dalam kasus ketika penyidiknya disandera di PTIK tapi tidak ada (reaksi), semua dikubur begitu saja, tidak ada lagi upaya kuat pemberantasan korupsi yang kita bayangkan," kata Zainal.

Dia menduga pegawai-pegawai KPK yang cukup memiliki idealis bakal bedol desa, lantaran KPK tidak lagi menyediakan iklim yang sesuai untuk pemberantasan korupsi. Ditambah lagi, semakin tersanderanya upaya pemberantasan korupsi karena UU baru.

"Di dalam (KPK), sebentar lagi akan bedol desa, karena menganggap bukan lagi wilayah yang enak untuk berpikir pemberantasan korupsi. Plus pada saat yang sama undang-undangnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pemberantasan korupsi yang lebih kuat. Karena konstruksi-konstruksi yang dibuat menjadi ketergantungan kepada pemerintah," kata Zainal. (ase)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya