KPU Diminta Diskualifikasi Cakada yang Langgar Protokol COVID-19

Ketua KPU Arief Budiman saat mengumumkan hasil pendaftaran paslon di Pilkada 2020
Sumber :
  • KPU

VIVA – Penyelenggaraan pilkada 2020 menuai pro dan kontra. Banyak pihak mendesak Pemerintah agar menunda pilkada demi keselamatan, karena penyebaran COVID-19 sampai saat ini belum juga reda. Bahkan, jumlah kasusnya terus meningkat tiap hari.

Timses Pram-Doel: Kami Merasakan TNI-Polri Menjaga Netralitas dalam Pilkada Jakarta

Dikhawatirkan pilkada menjadi klaster penyebaran baru. Sebab, berkaca pada proses pendaftaran, banyak protokol yang dilanggar. Misal, tidak menggunakan masker hingga pengerahan massa ke lokasi.

Baca juga: Pemerintah, DPR, dan KPU Sepakat Pilkada 2020 Tidak Ditunda

Cak Imin Sebut Presiden Prabowo Ingin Penyelenggaraan Pilkada Dievaluasi Tuntas

Direktur Eksekutif Indonesia Watch for Democracy, Endang Tirtana, mengatakan saran dan pandangan dari masyarakat harus menjadi pertimbangan KPU dan DPR untuk melanjutkan pilkada tahun ini. Sebab Perpu No 2 Tahun 2020 secara jelas mengatur jika dalam hal pemungutan serentak tidak dapat dilaksanakan, maka KPU, DPR dan Pemerintah dapat melakukan penundaan. 

"Untuk itu, KPU sebagai pelaksana, mestinya memberikan penjelasan secara terbuka terkait hasil kajian dan pemantaun lapangan mereka tentang terkait pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020," kata Endang dalam keterangan persnya, Senin, 21 September 2020.

Narasi 2 Putaran Dinilai Bisa Ganggu Kondusifitas Jakarta

Kalaupun pilkada tetap dilaksanakan, kata Endang, semua pihak wajib menjalankan protokol kesehatan. Baik saat masa kampanye, maupun pemungutan suara. 

"KPU juga harus secara tegas memberikan sanksi kepada cakada (calon kepala daerah) yang melanggar. Sanksinya berupa diskualifikasi, agar bisa menjadi perhatian khusus kepada cakada-cakada yang bertarung," tegasnya.

Sampai saat ini diketahui pemerintah tetap memilih melanjutkan pilkada dengan mengutamakan prosedur kesehatan yang ketat. Demi melancarkan pilkada di tengah pandemi saat ini, kata Endang, masyarakat harus displin terhadap protokol kesehatan. 

"Mengundur pilkada sama dengan menunda sirkulasi demokrasi di 270 kabupaten/kota. Demokrasi yang mandek akan menjadi letupan sosial tersendiri dan itu tidak bagus jika terjadi di tengah krisis ekonomi dan pandemi yang datang bersamaan," tuturnya.

Salah satu hal yang menjadi perhatian jika pilkada ditunda, menurut Endang, adalah terkait legitimasi kepala daerah yang lemah dan secara aturan juga dibatasi kewenangan pelaksana tugas kepala daerah.

"Sehingga bisa mengakibatkan sulit mengambil putusan-putusan strategis dalam kondisi di mana situasi sekarang perlu kecepatan putusan-putusan," ujarnya.

Meski begitu, Endang menyakini, pilkada tahun ini dapat diselenggarakan dengan baik selama semua patuh terhadap protokol kesehatan.

"Bisa dirasakan dilema yang dirasakan pemerintah menghadapi pilihan antara menunda dan melanjutkan pilkada pada Desember 2020. Sama dilemanya dengan memilih antara menyelamatkan ekonomi nasional dengan upaya menekan penyebaran virus corona," ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya