Jakob Oetama Wafat, ARB: Indonesia Kehilangan Salah Satu Tokoh Persnya
- Twitter/aburizalbakrie
VIVA – Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading pada Rabu, 9 September 2020. Banyak yang merasa kehilangan atas kepergian Jakob Oetama di usia 88 tahun itu.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Aburizal Bakrie, menyampaikan duka cita yang mendalam atas wafatnya pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama. Menurut ARB, Jakob Oetama bukan cuma seorang pengusaha sukses, namun adalah seorang jurnalis yang baik dan bersahaja.
“Atas jasanya tersebut, beliau mendapatkan Penghargaan Achmad Bakrie ke-17 tahun 2019 di bidang jurnalisme. Hari ini Indonesia kehilangan salah satu tokoh persnya. Selamat Jalan Pak Jacob. Rest in peace,” kata Aburizal dikutip dari Twitter.
Baca juga: Kasus Corona Hari Ini Bertambah 3.307 Pasien Positif, 106 Meninggal
Sementara itu, Presiden Direktur PT Visi Media Asia Tbk, Anindya Novyan Bakrie juga menyampaikan duka cita yang mendalam atas berpulangnya pendiri Kompas Gramedia tersebut. Menurut Anin, sapaan Anindya Novyan Bakrie, Jakob Oetama merupakan jurnalis dan tokoh pers yang banyak jasanya.
“Saya, dan saya yakin juga banyak orang pers/media, yang pasti banyak belajar dari beliau. Dunia pers Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Selamat Jalan Pak Jakob. Rest in peace,” kata Anindya.
Pria kelahiran Magelang, 27 September 1931 itu merupakan sosok yang berjasa besar dalam industri media Tanah Air. Tak hanya itu, ia pun membangun media lainnya.
Bahkan, Jakob Oetama juga mengembangkan bisnis usahanya selain media, seperti perhotelan, pendidikan, dan toko buku Gramedia. Dengan meraih kesuksesan di bidang usahanya, ia pun layak disebut pengusaha sukses. Tapi, Jakob lebih senang disebut sebagai wartawan.
Menjadi wartawan adalah pilihan tepat bagi Jakob Oetama. Hampir 61 tahun ia bergelut di bidang media sejak umur 24 tahun. Siapa pun pasti sudah tak asing dengan sosok Jakob Oetama yang merupakan pendiri Kompas Gramedia Group itu.
Jakob Oetama bersama rekannya Petrus Kanisius Ojong pada 1965 mendirikan Harian Kompas. Sebelum Harian Kompas lahir, pada 1963, dua sahabat ini sudah mendirikan majalah bulanan Intisari yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Majalah ini terinspirasi dari majalah Reader’s Digest asal Amerika.
Pada awalnya, pria yang pernah menjadi guru di SMP Mardi Yuana, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, ini merasa bimbang, apakah ia ingin tetap menjadi guru atau alih profesi sebagai sebagai wartawan. Meski sebelumnya, menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil bersamaan dengan keinginannya sebagai pastor.
Namun, seiring bertambahnya usia, Jakob pun mengeliminasi cita-citanya sebagai pastor dan tidak melanjutkan Sekolah Menengah Atas Seminari (sekolah khusus untuk menjadi pastor). Ditambah lagi sang ayah, Raymundus Josef Sandiya Brotosoesiswo kala itu berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat.
Di tengah kebimbangan antara jadi guru atau wartawan tersebut, hingga akhirnya ia berbincang dengan Pastor JW Oudejans OFM, pengelola majalah Penabur, Jakob pun membulatkan tekadnya bukan sebagai guru profesional melainkan wartawan profesional. Itulah pilihan Jakob seprti tertulis di buku Syukur Tiada Akhir (2011).
Pilihannya untuk terjun ke dunia tulis-menulis bukanlah hal baru baginya. Sebelumnya, Jakob Oetama memang memiliki hobi menulis. Hobinya dalam menulis pun semakin matang setelah ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
Sudah sejak tahun 1956, pria yang kerap disapa JO (Je-O) ini telah dipercaya sebagai sekretaris redaksi majalah Penabur hingga tiba saat ia berhasil mendirikan majalah Intisari dan Harian Kompas bersama sahabat karibnya. Tentu saja, keberhasilan tersebut bukan sebuah akhir, melainkan langkah baru bagi Jakob membawa perubahan segar bagi jurnalisme Indonesia.
Hingga tahun 2016, bertepatan usianya yang ke 85 tahun, Harian Kompas sudah berkembang menjadi salah satu industri raksasa di bidang media massa, toko buku, hotel, dan universitas yang semuanya tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia.
Pria yang telah mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa ke-18 dari Universitas Gadjah Mada ini pernah menjabat sebagai pemimpin umum Kompas Gramedia dan presiden direktur Kelompok Kompas Gramedia. (art)