Polemik Sertifikasi Ulama, Kemenag Angkat Bicara
- VIVAnews/ Syaefullah
VIVA - Kementerian Agama mengimbau kepada seluruh masyarakat agar dalam menyikapi rencana program kegiatan sertifikasi ulama atau penceramah agama bersertifikat yang digagas oleh Kemenag dengan jernih dan objektif tidak didasarkan pada sikap curiga serta syak wasangka.
"Karena dapat menimbulkan salah paham yang berujung pada polemik yang tidak produktif," kata Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi, kepada VIVA di Jakarta, Selasa, 8 September 2020.
Baca juga: Tanggapan UAS soal Wacana Kemenag Sertifikasi Penceramah
Zainut mengemukakan, program dai dan penceramah bersertifikat adalah program biasa yang sudah sering dilakukan oleh ormas-ormas Islam atau lembaga keagamaan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dai serta penceramah agama agar memiliki bekal dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Maka, seorang dai dan penceramah agama, misalnya perlu dibekali ilmu psikologi massa, public speaking, metode ceramah sesuai dengan perkembangan zaman, dan juga pemahaman Islam wasathiyah atau moderasi beragama serta pemahaman wawasan kebangsaan.
Zainut mengatakan, dalam pelaksanaan program tersebut, Kemenag bekerja sama dengan majelis dan ormas keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, Walubi/Permabudhi, Matakin, NU, Muhammadiyah, dan ormas keagamaan lainnya.
Sementara itu, Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator dan pendampingan program dengan memberikan dukungan anggaran stimulan, tenaga serta instrumen lain yang dapat mendorong lahirnya partisipasi masyarakat.
Untuk hal tersebut, lanjut Zainut, Kemenag memberikan apresiasi kepada ormas atau kelompok masyarakat yang sudah melaksanakan program tersebut. "Ke depannya kami ingin ada sinergi program ormas-ormas agama dengan Kemenag agar lebih maksimal pelaksanaannya," ujarnya.
Program dai dan penceramah bersertifikat sifatnya voluntary atau suka rela bukan menjadi sebuah keharusan, sehingga tidak ada alasan akan menjadi ancaman bagi dai dan penceramah agama yang tidak mengikutinya, karena tidak ada sanksi apa pun yang akan diberikan kepadanya.
Adapun terkait dengan penanggulangan radikalisme yang menjadi tujuan dari program tersebut, lanjut dia, harus dipahami bahwa yang dimaksud dengan paham radikal adalah paham yang memenuhi tiga unsur, yaitu, pertama paham yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, paham yang mengingkari nilai-nilai kesepakatan nasional misalnya Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan ketiga, paham yang menolak kebenaran paham orang lain, menganggap hanya kelompoknya yang paling benar, sedangkan orang lain sesat atau kafir (takfiri).
"Jadi setiap dai dan penceramah agama harus terbebas dari unsur paham radikal tersebut karena dapat mengancam eksistensi Pancasila, NKRI, persatuan dan kesatuan bangsa," tuturnya. (art)