Pakar: Harusnya Kepala Daerah Manusia Setengah Dewa Jangan Cacat Hukum

Ilustrasi-Pelaksaan Pilkada Serentak di Indonesia
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA – Persoalan hukum calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2020, kembali menjadi sorotan. Institusi seperti Polri bahkan mengeluarkan surat telegram, agar jajarannya menunda sementara proses penegakan hukum terhadap mereka yang ikut dalam kontestasi. Dengan alasan, mengindari konflik kepentingan.

Pakar Hukum Soroti Calon Kepala Daerah Sudah Dua Periode Maju di Pilkada 2024

Sikap berbeda ditunjukkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tetap menjalankan proses hukum sekali pun yang diduga adalah mereka yang mengikuti Pilkada 2020 secara serentak.

Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad berpendapat bahwa idealnya kepala daerah dijabat oleh manusia setengah dewa. Artinya tanpa cacat hukum, apalagi kasus tindak pidana korupsi. Hal itu diungkapkan Supardi, menyoroti masih ada bakal calon kepala daerah yang mantan narapidana kasus korupsi pada Pilkada 2020 yang diusung partai politik. 

Ramai-ramai Calon Kepala Daerah Sowan ke Jokowi di Solo, Ada Apa?

“Kepala daerah itu idealnya manusia setengah dewa, yang berarti tanpa cacat, termasuk cacat korupsi,” kata Suparji kepada awak media, Senin, 7 September 2020.

Baca juga: Muhammadiyah: Pilkada Jangan Sampai Perburuk COVID-19

Eks Penyidik KPK Ajak Masyarakat Tak Pilih Calon Pemimpin yang Terafiliasi Dengan Koruptor

Supardi menyadari, memang pengaturan ihwal syarat pencalonan sudah diatur cukup detail oleh penyelenggara pemilu, termasuk soal bakal calon yang mantan napi korupsi. Namun, masalah etika politik, menurut dia, sejatinya bekas napi korupsi tak pantas lagi mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri.

Pencalonan Bupati Dompu, NTB, Syaifurrahman Salman dan calon wakilnya Ika Rizky pada Pilkada tahun 2020, misalnya. Walau syarat pencalonan sudah terpenuhi secara hukum, karena batas waktunya antara masa pidananya dengan pencalonan, tapi menurutnya tetap tak pantas bila diukur etika politik. 

“Secara normatif memang tidak bertentangan, tetapi ukuran dalam politik dan kepemimpinan juga soal etika. Nah ukuran etika politik adalah pantas dan tidak pantas. Maka mantan koruptor secara etis tidak pantas menduduki jabatan politik,” ujarnya.

Selain masalah etika, Supardi khawatir timbulnya pengulangan pidana sehingga tak tercapai cita-cita pilkada, bilamana daerah tersebut kembali dipimpin oleh mantan napi kasus korupsi. 

“Dikhawatirkan akan mengulangi praktik sebelumnya. Potensi residivis ada. Selain itu masih banyak anak bangsa yang tidak pernah korupsi dan pantas untuk dicalonkan dan dipilih. 
Harusnya regulasinya tegas dan semoga rakyat cerdas dalam pilkada ini,” ujarnya. 

Hanindhito Pramana dan Dewi Mariya Ulfa konferensi pers Pilbup Kediri.

Dhito Anak Pramono Unggul Quick Count di Pilbup Kediri, Langsung Hubungi Rivalnya

Pasangan calon incumbent Pemilihan Bupati (Pilbup) Kediri, Hanindhito Himawan Pramana atau Mas Dhito dan Dewi Mariya Ulfa mengungguli pesaingnya, Deny Widyanarko-Mudawama

img_title
VIVA.co.id
27 November 2024