PDIP Tak Pernah Menang di Sumbar, Qadari: Tidak Kompatibel

Ketua Umum PDIP Megawati Soekartoputri (dua dari kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Pernyataan politikus PDIP Puan Maharani yang dinilai menyinggung masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) dikaitkan dengan pencapaian Partai Banteng itu di Ranah Minang. Sejak pemilu legislatif langsung, PDIP sulit menang di Sumbar.

Puan Pimpin Rapat Persiapan Uji Kelayakan Capim dan Dewas KPK

Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qadari menilai ada data terkait pencapaian PDIP sejak Pileg 2004. Menurutnya, angka pencapaian PDIP selalu di bawah rata-rata nasional.

"Kita bacakan dulu datanya ya. Jadi, PDIP pada (Pemilu) 2004 di Sumbar untuk nasional itu dapat 3,5 persen. 2009 4 persen, kemudian 2014 itu membaik 7,6. Lalu, 2019 turun lagi menjadi 4,9 persen. Jadi, memang performance PDIP di Sumatera Barat ini di bawah rata-rata nasional," kata Qadari dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne yang dikutip VIVA, Jumat 4 September 2020.

Puan Minta Pemerintah Kuatkan Mitigasi ke Masyarakat Guna Hadapi Cuaca Ekstrem

Baca Juga: Andre Rosiade ke Kapitra: Kami Ini Orang Sumatera Barat Loyal NKRI

Dia pun menganalisis faktor penyebabnya. Menuruut dia, PDIP selalu keok ini karena Sumatera Barat adalah basis Muhammadiyah atau Islam modernis. Sementara, basis sosial politik di Indonesia itu ada dua, yaitu santri kemudian non santri.

Puan Soroti Isu Kelaparan, Pangan dan Perang di Forum Parlemen G20

"Santri itu ada dua, yaitu santri tradisional adalah Nahdlatul Ulama atau NU. Dan, santri modernis adalah Muhammadiyah," lanjut Qadari.

Pun, ia menambahkan bukti Sumbar memang identik dengan Islam modernis yaitu parpol yang melekat seperti PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) selalu moncer di ranah minang. Bahkan, perolehan suara dua parpol itu di Sumbar lebih tinggi dibandingkan di tingkat nasional.

"Sebaliknya partai yang berbasis santri tradisional yaitu NU dan PKB itu bahkan lebih rendah dari PDIP," jelasnya.

Berbeda dengan basIs sosial untuk PDIP yang dinilai Qadari tak sesuai dengan Sumbar. Ia menyebut PDIP bagian non santri atau dari kalangan abangan. 

"Kalau kita bicara PDIP ini kan non santri garis miring abangan. Jadi, basis sosial di Sumbar ini tidak kompatibel dengan PDIP," tuturnya.

Respons PDIP
Merespons analisis Qadari, politikus PDIP Kapitra Ampeta hanya menjawab santai. Bagi dia, Qadari hanya tukang survei yang tak ada hubungannya dengan pernyataan Puan Maharani.

Kapitra menekankan selama ini, PDIP hanya sering memberikan dukungan terhadap kader dari par[pol lain yang maju di Pilkada Sumbar. Salah satunya seperti mengusung Mulyadi di Pilgub Sumbar yang notabene yang bersangkutan adalah kader Partai Demokrat.

Selain itu, memang PDIP tak memenuhi syarat untuk mengusung sendiri pasangan calon. Maka itu, PDIP mesti berkoalisi dengan parpol lain.

"Toh, yang didukung PDIP adalah bukan kader sendiri. Itu koalisi PAN, Demokrat dan sebagainya," tutur Kapitra

Polemik pernyataan Puan Maharani jadi perbincangan politik nasional. Ucapan putri sulung Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri itu dinilai menyinggung rakyat Sumbar.

Pernyataan Puan disampaikan saat acara PDIP memberikan rekomendasi dukungan ke duet Mulyadi-Ali Mukhni untuk maju ke pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat.

"Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," ujar Puan dalam pernyataannya itu.

Pernyataan Puan yang memantik perdebatan langsung diklarifikasi Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Dia menjelaskan maksud ucapan Ketua DPP PDIP Bidang Politik PDIP itu hanya ingin Pancasila dibumikan di ranah minang dan daerah lainnya.

"Jadi, maksud Mbak Puan dan seluruh kader partai agar mengingatkan bagaimana Pancasila dibumikan. Tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi di Jawa Timur, di Jakarta, di seluruh wilayah Republik Indonesia Pancasila harus dibumikan," kata Hasto, Rabu 2 September 2020. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya