Polsek Ciracas Diserang, Sutiyoso Soroti Kesejahteraan Prajurit
- Istimewa
VIVA – Mantan Panglima Kodam Jaya Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, mengurai beberapa persoalan di balik kasus penyerangan markas Polsek Ciracas Jakarta Timur, pada Sabtu dini hari, 29 Agustus 2020 oleh sejumlah prajurit TNI.
Sutiyoso mengatakan, dia sedikit banyak memahami prajurit tempur di lapangan. Selama 30 tahun di Angkatan Darat, ia mengatakan, 25 tahun berada di pasukan tempur, baik Kostrad maupun Kopassus.
Di dalam prajurit tempur itu, kata dia, didoktrinasi bahwa prajurit tidak boleh ragu ketika ada penugasan. Lalu, jiwa korsa juga ditanamkan. Terakhir, adalah kesetiakawanan. Yang ini menurutnya, tidak perlu indoktrinasi karena itu tertanam dengan kebersamaan mereka saat latihan atau aktivitas sehari-hari.
Sutiyoso mengatakan, karena prajurit tempur maka mereka terus dilatih setiap hari. Tetapi, latihan juga butuh medan tempur. Dia mengibaratkan, seperti petinju yang latihan terus. Tujuannya adalah ingin bertanding di atas ring. Â
"Dilatih terus-terusan dan itu membosankan. Tidak tahu bertempur dengan siapa. Ini masalah satu yang perlu ditangkap," kata Sutiyoso, dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) tvOne, Selasa 1 September 2020.
Baca juga:Â Gara-gara Masker, Calon Pengantin Bisa Sulit Nikah di Daerah Ini
Dulu, jelasnya, masih ada sejumlah medan yang bisa digunakan. Seperti saat masih ada GAM di Aceh, atau di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, juga ada prajurit tempur diturunkan ke Timor Timur. Tapi saat ini, tidak ada lagi.
Persoalan kesejahteraan, lanjut Sutiyoso, juga menjadi masalah yang belum pernah diselesaikan. Setingkat Prada, katanya, total gaji sekitar Rp5,3 juta. Jika masih bujangan, masih bisa ditabung dan digunakan untuk membantu keluarga.
Tetapi, saat sudah berkeluarga dan ditambah dengan anak-anaknya, maka jumlah itu menjadi sangat sedikit apalagi untuk hidup di daerah seperti Jakarta. Apalagi mereka harus mengontrak rumah karena rumah dinas penuh terisi.Â
"Jadi kesimpulannya, kesejahteraan sangat minim. Lalu, dia melihat tetangganya, yang dimaksud prajurit-prajurit yang sesama di kodam misalnya yang tugas di teritorial, di kodim kah, di koramil, di korem. Begitu juga dia melihat kepolisian," katanya.
Karena prajurit tempur, kata mantan gubernur DKI Jakarta itu, mereka adalah prajurit yang harus siaga. Tidak bisa mencari tambahan di wilayah teritori seperti yang lain. Jika prajurit ini keluar kandang, lanjutnya, mereka bisa kena hukuman indisipliner jika sewaktu-waktu saat disidak pimpinan tapi tidak ada di tempat.
Prajurit-prajurit ini juga menurut pria yang akrab disapa Bang Yos, adalah anak-anak muda yang emosinya masih cukup labil. Yakni yang berusia antara 20-25 tahun.
"Tingkat emosinya juga cukup tinggi dan tidak mudah dikendalikan. Jadi kesimpulan, menurut pandangan saya ada kecemburuan sosial," tuturnya.
Dia mengusulkan, masalah terorisme sebenarnya bisa memberi ruang bagi prajurit-prajurit tempur tersebut untuk turun medan. Padahal, seperti di Den88, antiteror TNI AD, menurutnya sangat mumpuni untuk membasmi gerakan-gerakan terorisme.
Tetapi, kata dia, hanya dijadikan cadangan saja dengan alasan bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Padahal, menurut mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu, Tito Karnavian saat menjadi kapolri pernah mengatakan, jumlah anggotanya terbatas karena tidak hanya mengurus masalah terorisme.
"Dalam kondisi yang kurang, banyak dibebani semua termasuk memerangi terorisme juga separatis. Sementara ada TNI yang siap, menjadi pengangguran. Ini masalah psikologis," ujarnya. (art)