Bawaslu Ingatkan Ancaman Pemilu Taruhannya Kualitas Demokrasi

Ketua Badan Pengawas Pemilu, Abhan, saat meninjau pemungutan suara di TPS Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, pada Rabu, 17 April 2019.
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menilai permasalahan pemilu sejak awal reformasi hingga kini terasa sama. Ketika masa pemilu tiba, kehidupan berbangsa jadi penuh potensi bahaya, sehingga taruhannya adalah kualitas demokrasi itu sendiri.

Ridwan Kamil Janji Gelar Program Sembako Murah Rp 5 Ribu Tiap Bulan jika jadi Gubernur

"Setiap masa pemilu tiba, kehidupan kebangsaan jadi penuh potensi bahaya, dan taruhannya adalah kualitas demokrasi serta eksistensi integrasi bangsa," kata Abhan, di laman resmi Bawaslu, Selasa, 1 September 2020.

Baca juga: DKPP Ingatkan Penyelenggara Pilkada 2020 Siapkan Jantung Cadangan

Ada Pilkada Serentak 2024, Pemerintah Bakal Tetapkan Libur Nasional pada 27 November

Namun, ia tetap optimistis bahwa transformasi sistem politik yang diikuti dengan transformasi nilai, dan peran para elitnya akan menjadi jalan keluar bagi permasalahan ancaman disintegritas bangsa, sebagai ekses dinamika politik yang terjadi saat pemilu.

Menurutnya, pemilu dengan gaya demokrasi elektoral yang bebas, tidak boleh melabrak bangunan integrasi bangsa. Atas dasar itu para elit harus lebih bertanggung jawab dalam proses pendidikan politik kepada rakyat.

VIVA Group Gandeng 4 Lembaga Survei, Siap Hadirkan Quick Count Pilkada Serentak yang Akurat

Seperti perbaikan sistem, dan tata kelola pemilu, perbaikan kerangka hukum pemilu, serta peningkatan integritas penyelenggara pemilu.

"Karenanya, peran para elit politik dalam menjaga dan menyebar makna substantif dari demokrasi pemilu kepada rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan merebut kekuasaan," tegasnya.

Apalagi dengan berkaca dari penyelenggaraan Pilkada 2015, 2017, dan terakhir 2018 serta Pemilu Tahun 2014 dan 2019, menunjukan ada dinamika politik yang semakin tajam. Membelah rakyat dan menyeret pada ancaman potensi perpecahan.

Praktik politik identitas yang menyulut sentimen keagamaan menghasilkan polarisasi yang merongrong demokrasi. Bahkan lebih dari itu, ia menilai, secara nyata mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

"Fenomena ini mengindikasikan bahwa dinamika kehidupan bangsa sedang mengarah kepada kemunduran atau kemerosotan politik [political decay]," katanya.

Maka dari itu, dia memandang, perlunya perbaikan terhadap sistem keadilan pemilu, yang mencakup politik hukum dalam penyusunan desain sistem penegakan hukum pemilu. Sistem diarahkan pada mengoptimalkan koreksi administrasi terhadap akibat yang muncul dari tindakan pelanggaran hukum pemilu guna memulihkan hak-hak peserta pemilu dan masyarakat serta mengembalikan integritas proses dan hasil pemilu.

Serta mengoptimalkan munculnya efek jera dan menciptakan sistem penegakan hukum pemilu yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya