ICW Kecam Pengurangan Hukuman Eks Bupati Kepulauan Talaud
- Antarafoto/Kurnia Ramadhana
VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. Kini, hukuman Sri menjadi 2 tahun.
"Sejak awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada awak media, Senin, 31 Agustus 2020.
Baca juga: Penelusuran ICW: Pemerintah Gelontorkan Rp90,45 M untuk Influencer
ICW menilai putusan PK itu sangat janggal. Sebab hukuman perantara suap dalam perkara itu yakni Benhur Lalenoh lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman penyelenggara negara yang jadi dalang dari tindak pidana korupsi.
"Sebagaimana diketahui, Benhur yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, vonis PK tersebut jauh lebih rendah, dibandingkan hukuman terhadap Abdul Latif yang merupakan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon yang dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta.
"Namun, ICW tidak lagi kaget sebab sejak awal memang MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," kata Kurnia.
Kurnia mengatakan, dalam konteks PK, Ketua MA seharusnya selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK.
"Semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan. Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai 'extraordinary crime' seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak Hakim Agung, ini penting agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan," ujarnya.
ICW juga meminta tren “sunat hukuman” di tingkat PK menjadi perhatian khusus Ketua MA. Pasalnya berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.
"Jika ini terus menerus berlanjut maka publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menambahkan, pihaknya pun minta kepada MA supaya menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi. "Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," ujarnya.