Jejak Yahudi di Tanah Jawa: Kebanyakan Kaum Intelektual
- republika
REPUBLIKA.CO.ID, Melacak keberadaan Yahudi di Nusantara, tak lepas dari ekspedisi Portugis. Setelah Portugis menemukan jalan ke India dan Asia Tenggara, banyak orang Yahudi—lebih dulu menjadi Kristen—terlibat dalam ekspedisi pada awal abad ke-16. Kebanyakan dari mereka tidak kembali, tapi bermukim di sepanjang pantai utara Sumatra dan Jawa.
Jumlah pemukim Yahudi di nusantara berkembang seiring kemunduran Portugis dan munculnya VOC—raksasa dagang Belanda—di nusantara pada 1602. Namun, tidak ada dokumen yang menyebut jumlah pemukim Yahudi pada awal pendirian Batavia. Setelah VOC bangkrut pada 1799, Pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mencatat jumlah orang Yahudi di kota-kota di Jawa dan Sumatra.
VOC dan Pemerintah Hindia-Belanda memang menjalankan politik segregasi etnis, tapi tidak memisahkan Yahudi dari masyarakat Belanda. Politik segregasi hanya mencakup orang-orang China, inlander (pribumi), Arab, Moor, dan kulit putih non-Belanda.
Yahudi asal Belanda masuk ke dalam kelompok pemukim Belanda. Sedangkan, Yahudi yang datang dari Jerman, Prancis, Spanyol, Austria, Inggris, dan lainnya masuk kelompok masyarakat kulit putih non-Belanda.
Namun, Yahudi yang datang ke Hindia-Belanda tidak hanya berasal dari Eropa, tapi juga dari wilayah Kekaisaran Ottoman, yaitu Irak. Komunitas Yahudi Shepardic di Surabaya berasal dari Irak dan menyebut diri Yahudi Baghdadi.
Terdapat indikasi pemerintah Hindia-Belanda mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Arab. Rumah-rumah Yahudi Baghdadi di Surabaya, plus sinagogue mereka, terdapat di lingkungan permukiman Arab.
Catatan penting tentang eksistensi Yahudi di Nusantara ditulis Rabbi Yacob Saphir. Dalam perjalanan ke Australia untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan permukiman Yahudi di Palestina, Rabbi Saphir tiba di Singapura, kota di Asia Tenggara dengan pemukim Yahudi Shepardic yang mapan; memiliki beberapa sinagogue dan rabbi.
Sebelum bertolak ke Australia, Rabbi Saphir disarankan mengunjungi masyarakat Yahudi di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia memenuhi saran itu dan mengunjungi tiga kota di Jawa pada 1861, untuk bertemu keluarga-keluarga Yahudi.
Di Batavia, Rabbi Saphir bertemu 20 keluarga Yahudi. Dalam catatan perjalanannya ia menulis, “Mereka tidak lagi menjalankan ritual Judaisme, mengadakan upacara brit milah (mengkhitan anak laki-laki), karena ketiadaan pemuka agama.”
Jika keluarga Yahudi di Batavia ingin mengkhitankan anak laki-lakinya, mereka harus mengumpulkan banyak uang untuk memanggil rabbi dari Singapura. Situasi serupa juga dijumpai Rabbi Saphir di Semarang, tapi tidak di Surabaya.
Di Surabaya, Rabbi Saphir menemukan sinagogue yang terpelihara, dengan masyarakat Yahudi Shepardic di sekelilingnya. Di sini, brit milah dijalankan dengan baik karena ada rabbi yang siap memimpin upacara. Minyan atau ritual umum yang harus diikuti minimal 10 laki-laki setiap Sabat, terpelihara.
Rabbi Saphir juga mencatat Yahudi di Batavia dan Semarang berasal dari Jerman dan Belanda dengan latar belakang Azhkenazim. Mereka tidak hanya murtad terhadap ajaran, tapi ikut-ikutan merayakan Natal.
“Di Semarang dan Batavia, tidak ada pemakaman khusus Yahudi. Di Surabaya, Yahudi Baghdadi memiliki tanah wakaf untuk pemakaman,” demikian Rabbi Saphir.
Khusus tentang Yahudi di Batavia dan Semarang, Saphir secara khusus menulis, “Beberapa memiliki istri Yahudi, lainnya menikah dengan wanita lokal. Mereka tidak memiliki guru agama, tempat penyembelihan hewan, mohel (pengkhitan), tapi mereka tidak mengingkari asal-usul mereka. Mereka mengaku Yahudi. Saya katakan kepada mereka bahwa saya akan mengkhitan semua Yahudi yang ingin kembali ke kepercayaan Ibrahim.”
Di Surabaya, Rabbi Saphir juga berbicara kepada orang-orang Yahudi, terutama Azhkenazim, yang sekian lama meninggalkan ajaran Ibrahim. “Tidakkah kalian malu kepada orang Arab dari Muskat dan Hadramaut. Mereka mampu menjaga keimanan mereka, membangun masjid, menjalankan ajaran dalam nama Allah.”
Rob Cassuto, salah satu anggota Keluarga Cassuto yang lahir di Batavia, memperkirakan migrasi besar-besaran Yahudi dari Eropa—terutama Belanda dan Jerman—terjadi di pengujung abad ke-19. Migrasi mencapai puncaknya jelang pergantian abad ketika pemerintah Belanda mencoba membentuk koloni kulit putih yang mapan di Hindia-Belanda.
Lewat iklan di surat kabar, Kerajaan Belanda mengajak warganya mengisi posisi-posisi penting di tanah jajahan. Orang Yahudi yang paling pertama merespons ajakan ini. Bersama orang Belanda, mereka datang ke Batavia dan mengisi posisi penting di Pemerintahan Hindia-Belanda, menjadi guru di sekolah-sekolah anak-anak Eropa dan Cina, atau berkarier di ketentaraan.
Mereka yang tidak kebagian posisi di pemerintahan, berprofesi sebagai pengacara, dokter, pedagang, atau pengusaha perkebunan di wilayah-wilayah yang terkena liberalisasi tanah. Mereka dengan cepat menjadi sangat kaya dibanding permukim kulit putih lainnya.