Kominfo: Gugatan RCTI dan INews Bisa Mengubah Industri Penyiaran
- Twitter/@kemkominfo
VIVA – Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli, menilai jika gugatan yang diajukan RCTI dan INews terkait Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Penyiaran dikabulkan Mahkamah Konstitusi, akan berdampak sangat besar serta ketidakpastian hukum, baik dalam industri penyiaran maupun dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Mengingat perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.
"Artinya, kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin (melakukan kegiatan siaran)," kata M Ramli dalam risalah sidang yang dikutip VIVA di laman MK, Jumat 28 Agustus 2020.
Baca: Pokok Gugatan RCTI-iNews Soal UU Penyiaran, Seret Youtube dan Netflix?
Menurutnya, saat ini banyak lembaga negara, lembaga pendidikan, industri kreatif anak bangsa yang menggunakan platform over the top (OTT) atau internet dalam menjalankan kegiatannya. Apabila kegiatan ini dikatagorikan sebagai penyiaran, maka lembaga-lembaga tersebut maupun content creator, baik perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
"Hal ini tentunya tidak mungkin karena lembaga negara, lembaga pendidikan, dan content creator tidak akan dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran yang mengakibatkan kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana," ungkapnya.
Belum lagi, layanan audio visual OTT yang cross border melintasi batas negara, maka penyedia layanan audio visual OTT ataupun content creator OTT yang banyak berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia, sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.
Lebih jauh lagi, kata Ramli, perluasan tafsir OTT yang menyebabkan pemberlakuan pengaturan dalam Undang-Undang Penyiaran terhadap penyelenggara konten OTT untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dapat bersifat kontra produktif terhadap hubungan perdagangan antarnegara yang memungkinkan menimbulkan dampak negatif terhadap negara Indonesia.
Mengubah Industri Penyiaran
Disamping itu, terang Ramli, apabila permohonan para pemohon dikabulkan, selain menimbulkan ketidakpastian hukum, juga akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Penyiaran, serta peraturan terkait di bawahnya.
"Dan pada akhirnya, akan membentuk lembaga penyiaran baru yang tidak diakomodir dalam Undang-Undang Penyiaran, yaitu LPS, LPB, LPP, dan LPK dengan sistem internet," ujar Ramli.
Namun demikian, apabila tetap ingin ada penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran yang mencakup kegiatan penyiaran yang menggunakan internet untuk dapat diterima oleh
masyarakat berdasarkan permintaan atau kebutuhan para pemohon, sekalipun akan merubah tatanan industri penyiaran, maka itu merupakan kewenangan pemerintah dan DPR untuk perubahan UU.
"Perubahan relevansi idealistik hukum harus diakomodir dalam undang-undang yang pembentukannya
merupakan kewenangan dari DPR dan Pemerintah," ungkap Ramli.
Baca: RCTI Ungkap Tujuan Gugat UU Penyiaran
Dalam gugatannya, RCTI dan INews selaku pemohon, menyoal Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang belum mencakup pengaturan penyiaran berbasis internet. RCTI-iNews sebagai lembaga penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang menyiarkan berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran.
Pemohon mendalilkan ketentuan pasal ini telah multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik dan kerugian konstitusional bagi mereka karena adanya unequal treatment. Karenanya mereka meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet juga diatur dalam UU Penyiaran. (ren)