Pokok Gugatan RCTI-iNews Soal UU Penyiaran, Seret Youtube dan Netflix?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi (dari kiri) Suhartoyo, Aswanto, Saldi Isra dan I Dewa Gede Palguna saat memimpin sidang MK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA – Dua stasiun televisi RCTI dan iNews menggugat Undang-Undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Yotube dan Netflix. Kedua televisi yang bergabung di MNC Group ini khawatir bila setiap siaran yang menggunakan Internet tak tunduk pada Undang-Undang Penyiaran, maka akan muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila dalam konten lewat layanan perusahaan over the top (OTT).

Baca: KPI Awasi Netflix dan YouTube Itu Salah, Tak Sesuai UU Penyiaran

Dalam permohonan judicial review yang dilihat VIVA di website MK, Jumat 28 Agustus 2020, permohonan uji materi itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Dari dokumen ini kedua televisi swasta itu menggugat poin pada Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.

Pasal itu menjelaskan definisi penyiaran, yakni 'kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran’.

Perusahaan menilai, Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran belum mencakup penyiaran menggunakan internet. Oleh karena itu, ada perbedaan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran.

“Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews. 

RCTI-iNews merupakan penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang menyiarkan berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran. Akibatnya, konten siaran RCTI-iNews diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sedangkan konten siaran berbasis internet tidak ada pengawasan. 

"Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa.”

Blak-blakan Alexander Marwata Gugat Pasal di UU KPK: Bisa jadi Alat Kriminalisasi ke Kami

Rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo menimbulkan multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik. Dalam hal ini kedua televisi ini mencontohkan pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang akan mengawasi YouTube dan Netflix tapi langsung menuai reaksi dari masyarakat.

Maka dari itu, RCTI dan iNews meminta MK untuk merumuskan Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran. Dengan mengusulkan definisi baru terkait penyiaran, yakni ‘Kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”. (ren)

Forum Politisi Muda Gugat Masa Jabatan Anggota DPR ke MK, Minta Dibatasi 2 Periode
Ilustrasi pilkada serentak 2024

Mahasiswa Minta Pemerintah Tindak Oknum Tak Netral di Pilkada Sesuai Putusan MK

MK memutuskan pejabat daerah serta TNI/Polri dapat dijerat hukuman pidana apabila melakukan cawe-cawe atau melanggar netralitas dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024