LIPI: Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme Pilihan Terakhir

Ilustrasi TNI
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA - Peneliti Bidang Pertahanan dan Keamanan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Diandra Megaputri Mengko, menilai rancangan peraturan presiden (Perpres) terkait pelibatan TNI dalam penangangan terorisme perlu ditinjau kembali oleh pemerintah.

Respons Keras Mahfud soal Yusril Bilang Tragedi 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat

Alasannya pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) khususnya untuk membantu kepolisian dan pemerintah diatur dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI Nomor 34/2004.

Menurut Diandra, mengacu undang-undang tersebut, pelibatan militer baru dapat dilakukan jika ada keputusan politik negara yakni kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR. Mekanisme tersebut harus melalui rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana tertera dalam penjelasan Pasal 5 UU TNI.

PBB Kecam Catatan HAM Tiongkok: Beijing Tolak Laksanakan Reformasi

"Rancangan Perpres ini akan menimbulkan kerumitan bagi tata kelola penanganan terorisme di Indonesia, karena rancangan ini justru kontra-produktif terhadap upaya membangun koordinasi yang baik antarlembaga terhadap upaya membangun profesionalisme militer dan demokrasi Indonesia," kata Diandra dalam webinar bertajuk 'Negara Hukum, HAM & Demokrasi, tapi Militerisasi?' yang digelar Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Jumat, 14 Agustus 2020.

Baca juga: Tegas, Mahfud MD Minta TNI Bantai Teroris

September Hitam: Menolak Lupa 8 Tragedi Pelanggaran HAM yang Kelam di Bulan September

Diandra menuturkan ada tiga potensi permasalahan yang bisa muncul. Pertama, tidak ada kejelasan sampai kapan militer akan terlibat dalam tugas pendisiplinan warga yang berpotensi militer bisa selamanya terlibat dalam tugas-tugas pendisiplinan warga.

"Jika terjadi secara berlarut-larut maka akan menimbulkan kerancuan antara fungsi pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum yang dicampuradukkan menjadi satu," katanya.

Kedua, tidak ada penjelasan atas urgensi atau alasan pelibatan militer yang menyebabkan sulitnya menilai proporsionalitas pelibatan yang diperlukan. Ketiga, tidak ada kejelasan perhitungan atas dampak dari tugas pengawalan ini terhadap kesiapan militer.

Menurutnya, rencana pelibatan militer dalam penanganan aksi terorisme ini harus disertai dengan indikator yang rigid dan terukur. Dalam konteks itu, pemerintah perlu meninjau ulang persiapan pelibatan militer.

Dia menilai pelibatan militer memang mungkin dilakukan, namun hendaknya hal itu dilakukan dengan pertimbangan yang matang terhadap aspek mitigasi krisis, dampak terhadap masyarakat, dampak terhadap profesionalisme militer itu sendiri, serta kesesuaian dengan ketentuan hukum.

"Pelibatan militer dalam penanganan aksi terorisme ini juga perlu ditempatkan sebagai upaya terakhir (last resort) apabila penguatan terhadap instansi sipil terkait sudah tidak dimungkinkan," katanya.

Sebelumnya diberitakan, rencana keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme masih jadi perdebatan. Rencana melibatkan TNI ini diproyeksikan dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya