Sekolah Bisa Jadi Klaster COVID-19, Begini Penjelasan Kemendikbud
VIVA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mengizinkan pembukaan sekolah tatap muka di daerah yang zona kuning hingga hijau. Namun, keputusan itu dikhawatirkan banyak pihak, lantaran bisa menjadi klaster baru penyebaran COVID-19.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kemendikbud, Jumeri, mengakui pihaknya menyadari bahwa pembukaan ini berpotensi terjadinya penularan. Maka setiap daerah tidak bisa membuka sekolah tatap muka begitu saja.
"Namun kami sudah memberikan instruksi agar pembukaan satuan pendidikan di zona kuning harus atas izin Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 setempat. Selain itu kepala sekolah harus mengisi daftar periksa pencegahan COVID-19 dan diverifikasi oleh Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota," kata Jumeri lewat telekonferensi, Kamis 13 Agustus 2020.
Baca juga: Istana Bantah Gerakkan Influencer hingga Artis Dukung RUU Omnibus Law
Jumeri menjelaskan, pembelajaran tatap muka akan dilakukan secara bertahap dengan syarat 30-50 persen dari standar peserta didik per kelas. Untuk SD, SMP, SMA dan SMK dengan standar awal 28-36 peserta didik per kelas menjadi 18 peserta didik.
Kemudian, untuk Sekolah Luar Biasa (SLB), yang awalnya 5-8 murid menjadi 5 peserta didik per kelas. Untuk PAUD dari standar awal 15 peserta didik per kelas menjadi 5 peserta didik saja.
Begitu juga jumlah hari dan jam belajar akan dikurangi. Yakni dengan sistem pergiliran rombongan belajar (shift) yang akan ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan.
Jumeri mengaku, sudah mendapatkan laporan dari berbagai daerah bahwa timbul klaster-klaster baru yang disebabkan oleh pembukaan kembali satuan pendidikan di zona kuning. Namun, dia meluruskan bahwa hal itu bukan terjadi pada bulan Agustus ketika penyesuaian SKB Empat Menteri dikeluarkan, melainkan adalah akumulasi kejadian dari bulan Maret sampai Agustus.
Dengan kata lain, para peserta didik dan pendidik tidak terpapar di sekolah melainkan di lingkungan mereka masing-masing. "Jika satuan pendidikan terindikasi dalam kondisi tidak aman atau tingkat risiko daerah berubah, maka pemerintah daerah wajib menutup kembali satuan pendidikan," kata Jumeri. (ren)