Bagaimana Anak-anak Kandung Tertuduh Separatis Memandang RI
- bbc
Ayah Diogenes bernama Rusli Marzuki Syaria. Dia bergabung ke PRRI saat usianya 22 tahun.
Ketika PRRI dideklarasikan pada 10 Februari 1958, Rusli yang saat itu berstatus anggota Brigade Mobil (Brimob) di Bukittinggi, lari ke hutan dan bergabung dengan kompi mahasiswa `Mawar` yang umumnya beranggotakan mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Andalas.
Gerakan PRRI di Padang, bersama Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, berawal dari ketidakpuasan para pemimpin militer di daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Mereka menuntut otonomi wilayah yang lebih luas namun tidak dihiraukan.
Di masa kanak-kanak, Diogenes tidak banyak mendengar cerita dari sang ayah tentang masa lalunya di PRRI.
Dia justru lebih banyak belajar tentang PRRI dari buku-buku yang dibacanya setelah merantau ke Jakarta, salah satunya yang ditulis eks-menteri luar negeri dalam kabinet PRRI Kolonel Maludin Simbolon.
Diogenes berkata, ayahnya selalu mengaitkan kisah PRRI dengan nilai-nilai pengorbanan. Kala itu, ayahnya menganggap memperjuangkan `persamaan hak warga negara` melalui wadah PRRI.
Namun kisah tentang PRRI, menurutnya sudah tidak relevan dengan masa kini. Sebagai seorang pribadi, dia memandang dirinya sebagai `orang Indonesia keturunan Minang`.
Diogenes mengatakan, keindonesiaan dalam dirinya muncul saat dia merantau untuk menempuh perguruan tinggi.
Dia kuliah di jurusan hukum di Bandung pada dekade 90-an sebelum membuka kantor advokat di Jakarta, profesi yang dilepasnya untuk menjadi peneliti di Lapan, dan akhirnya menetap di Depok.
Walau ayahnya dituduh beraktivitas dalam organisasi pemberontak, Diogenes mampu menjejaki karier hingga ke Jerman. Selama enam bulan, ia pernah melakukan riset di negara yang disebutnya tidak punya restoran Padang enak itu.
Dan hingga kini, anak Diogenes belum mengetahui masa lalu kakeknya. "Biarkan dia cari tahu sendiri. Saya juga dulu cari tahu sendiri," tuturnya.
Rusli Marzuli Syaria mengaku tidak pernah menceritakan keterlibatannya dengan PRRI kepada keturunannya.
Bagi Rusli, kiprahnya sebagai tentara PRRI adalah episode kehidupannya yang sudah selesai. Laki-laki berusia 84 tahun itu mengatakan ia tidak menyesal sudah `memberontak`.
Perasaan itu terwakilkan dalam sebuah sajak yang ia tulis dua tahun setelah PRRI berakhir:
Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya
Berceceran
Semua takdir kita yang punya.
Rusli berkata, ia masuk PRRI karena gagal masuk akademi kepolisian. Masuk PRRI, kata dia, memberinya alasan memperjuangan suatu hal pada masa mudanya.
Di luar itu, Rusli menyatakan setuju dengan seluruh tuntutan PRRI terkait otonomi lebih luas untuk daerah.
Setelah selesai dengan PRRI, Rusli berkarier di bidang politik. Ia juga menjadi penyair dan kini dianggap sebagai salah satu sosok penting dalam sastra Minangkabau.
Selama bertahun-tahun setelah PRRI, Rusli `belajar menjadi Indonesia lagi`. Dia mengaku membaca buku-buku karya Sukarno, Muhammad Hatta, dan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya.
Berbeda dengan Diogenes, Rusli menilai sebagian gagasan yang diperjuangkan PRRI masih relevan dengan situasi kekinian. Pembangunan yang belum merata di seluruh daerah, menurutnya.
"Indonesia kan dahulu mengumpulkan duit dari daerah, kemudian duit yang dikumpulkan dari daerah itu dibangunkan di Jawa. Sekarang kan sudah semua rata miskin. Apa yang bisa dibangun di Indonesia?"
Teks oleh wartawan BBC News Indonesia, Abraham Utama, Raja Eben Lumbanrau, dan Pijar Anugerah. Wartawan di Aceh, Hidayatullah turut berkontribusi.
Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan dan video Liputan Khusus 75 Tahun Indonesia.