Bagaimana Anak-anak Kandung Tertuduh Separatis Memandang RI
- bbc
Sayed tak puas dengan butir-butir kesepakatan perdamaian antara GAM dan pemerintah Indonesia. Namun saat ini ia juga kecewa dengan para pejabat daerah di Serambi Mekkah, terutama yang pernah bergerilya untuk GAM.
"Seharusnya ketika Aceh dipimpin oleh eks kombatan kondisi jauh lebih baik, tapi malah sebaliknya," kata Sayed mengutarakan pendapatnya.
Setelah dokumen perdamaian Aceh diteken di Helsinski, Finlandia, Agustus 2005, tidak sedikit pimpinan GAM yang naik ke tampuk birokrasi, baik di tingkat kabupaten atau kota maupun provinsi.
Tiga di antara mereka adalah Zaini Abdullah dan Irwandi Yusuf yang pernah menjadi gubernur, serta Muzakir Manaf, bekas orang nomor dua di Aceh tahun 2012 hingga 2017.
Juni lalu, Amran, seorang mantan Panglima GAM Daerah III Wilayah Lhok Tapaktuan, menjadi eks kombantan terbaru yang dilantik menjadi pejabat daerah. Ia kini berstatus Bupati Aceh Selatan.
Namun peralihan dari medan gerilya ke pemerintahan itu tak berlaku untuk Sayed. Modal pendidikannya, menurut Sayed, tak akan cukup mengubah jalan hidupnya. Bukan Cuma untuk jadi pejabat daerah, tapi juga anggota legislatif setempat.
"Saya hanya lulusan sekolah dasar, jadi tidak wajar ikut dalam politik. Kalau ikut politik, yang ada malah menyesatkan orang lain, jadi lebih baik seperti sekarang," ujarnya.
Sayed memang tidak pernah menjadi `orang penting` di GAM. Saat masuk GAM di masa remajanya, Sayed berkata ia menjadi `tukang beli rokok` untuk para milisi.
Dari titik itu, Sayed mendapat tugas-tugas baru seperti pengantar surat hingga kurir uang yang masuk-keluar hutan.
Setelah Orde Baru, Sayed mengaku diserahi tanggung jawab memungut pajak ke pegawai negeri hingga proyek-proyek pembangunan di Aceh.
Uang itu, kata dia, digunakan untuk membeli senjata, amunisi, dan kebutuhan lain kombatan GAM.
Namun Sayed tidak pernah menuturkan kisah ini, termasuk kegalauannya, kepada anak-anaknya.
"Yang ada saya malah dikatain oleh anak, `rugi ayah selama ini berjuang, orang lain sekarang sudah kaya, tapi ayah tidak punya apa-apa, malah pergi ke sawah`," ucap Sayed.
Syarifah Siti Humaira, anak kedua Sayed, tidak pernah nyaman dengan masa lalu ayahnya. Lahir saat Aceh dikecamuk konflik bersenjata, perempuan berusia 19 tahun ini memendam trauma.
"Tentara ke rumah mencari GAM dan GAM pun ada yang lari kemana-mana. Banyak orang yang meninggal," kata dia.
Merujuk dokumen Amnesty International, Mei 2003, saat operasi militer diberlakukan, sekitar 200.000 warga Aceh diungsikan ke berbagai pengungsian yang dikelola pemerintah.
Sementara itu, rilis resmi pihak militer kala menyebutkan angka berbeda-beda tentang warga sipil dan kombatan GAM yang tewas dalam pertempuran.
Selain itu ada pula beberapa peristiwa yang dianggap sebagai pelanggaran HAM selama konflik bersenjata terjadi Aceh, salah satunya Tragedi Rumoh Geudong.
Militer Indonesia menjadi tertuduh dalam perisitwa itu, tapi belum ada putusan pengadilan apapun terkait kejadian tersebut.
Dan perdamaian Aceh tahun 2005, menurut Syarifah, jelas memberinya peluang menjejaki masa depan yang lebih baik ketimbang yang dilalui orangtuanya.
"Konflik penting bagi orang-orang GAM untuk merebut kekuasaan, tapi bagaimana anak-anaknya? Saat konflik kan kebanyakan korbannya anak-anak," ujarnya.
Dibantu sebuah program beasiswa, Syarifah saat ini berstatus mahasiswa jurusan teknik kimia di salah satu perguruan tinggi di Lhokseumawe. Ayah dan ibunya tidak pernah mencapai titik itu.
Di sela menempuh kuliah, Syarifah bekerja sebagai penjahit. Faktor pendorongnya: ekonomi keluarga yang dia sebut `pas-pasan`.
Tidak seperti ayahnya yang tampak masih berapi-api jika membicarakan GAM, Syarifah menunjukkan sikap yang sebaliknya.
"Jika terjadi konflik, hal pertama yang saya akan lakukan adalah menyadarkan orang tua untuk tetap hidup tenang. Sudahlah enggak usah ikut-ikutan seperti itu lagi," ujarnya.
"Harus dibedakan, kalau dulu kita melawan penjajah dengan berperang, tapi sekarang bagaimana caranya kita melawan dengan lebih pintar," kata Syarifah.
`Saya bangga bapak pernah gabung PRRI`
Tidak ada beban yang dirasakan Diogenes dari masa lalu ayahnya yang merupakan tentara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Berlangsung dari tahun 1958 hingga 1961, gerakan PRRI di Sumatera dianggap sebagai gerakan separatis oleh pemerintah Orde Lama.
"Saya malah bangga. Kenapa? Itu kan memperjuangkan hak pada zaman itu," ujarnya.
Cap separatisme yang ditempelkan kepada PRRI memang diragukan beberapa kelompok. Beberapa sejarawan menyebut PRRI saat itu dibentuk sebagai bentuk protes terhadap pemerintah pusat.
Dan latar belakang ayah memang tidak menghambat Diogenes menjejaki masa depannya. Di usia 49 tahun, saat ini dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa Lapan.