ICW Curiga Jaksa Agung Tak Ingin Kasus Jaksa Pinangki Diambil Alih
- Istimewa
VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) curiga, Kejaksaan Agung melalui pedoman yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin, tak ingin dugaan tindak pidana mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, Pinangki Sirna Malasari, diambil oleh begitu saja oleh aparat penegak hukum lain.
Dugaan ini mencuat seiring penerbitan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan, dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana.
ICW menduga penerbitan pedoman itu terkait erat dengan dugaan tindak pidana Pinangki atas skandal pelarian terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) PT Bank Bali, Djoko Tjandra.
"ICW menduga keras bahwa dikeluarkannya Pedoman Nomor 7/2020 yang mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan jaksa mesti seizin jaksa agung terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh jaksa Pinangki Sirna Malasari,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada awak media, Selasa, 11 Agustus 2020.
Baca juga: Jaksa Agung Keluarkan Pedoman Kala Jaksa Pinangki Sedang Diusut
“Pedoman tersebut diduga agar perkara tindak pidana yang baru saja disidik oleh kejaksaan terkait dengan oknum jaksa tersebut tidak bisa diambil alih begitu saja oleh penegak hukum lain," ujarnya.
Kurnia mengingatkan kejaksaan mengenai asas hukum equality before the law. Dengan asas itu seharusnya setiap orang, termasuk jaksa tidak berhak mendapat perlakuan khusus. Apalagi, Pasal 112 KUHAP menyatakan secara tegas penyidik bisa memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subjek hukum itu wajib memenuhi panggilan penegak hukum.
"Tanpa adanya mekanisme perizinan tertentu oleh pihak mana pun," ujar Kurnia.
ICW, Kurnia melanjutkan, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus dugaan suap maupun gratifikasi yang dilakukan jaksa Pinangki. Pengambilalihan ini penting supaya penanganan kasus tersebut objektif dan mencegah terjadinya konflik kepentingan.
"Mengingat lembaga antirasuah tersebut memiliki kewenangan berupa koordinasi, supervisi, dan mengambil alih perkara yang ditangani oleh penegak hukum lain. Hal ini penting untuk menjamin objektivitas penanganan perkara agar tidak terjadi nuansa konflik kepentingan dalam penanganan perkara tersebut," imbuhnya. (art)