Ombudsman Minta Pemerintah Cepat Perbaiki Data Penerima Bansos
- ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
VIVA – Ombudsman RI meminta pemerintah memprioritaskan untuk memperbaiki data penerima bantuan sosial (bansos) terkait pandemi COVID-19. Sebab, data penerima yang valid adalah modal utama agar bantuan yang disalurkan tepat sasaran.
"Data penerima bantuan sosial harus menjadi prioritas pertama untuk dilakukan perbaikan sehingga menjamin masyarakat yang berhak menerima menjadi lebih tepat sasaran," kata Ketua Ombudsman, Amzulian Rifai, Rabu, 5 Agustus 2020.
Baca juga:Â Tekan Angka Kemiskinan, Menkeu Akan Tambah Anggaran Bansos
Ombudsman menyarankan, Kementerian Sosial melakukan koordinasi dan kolaborasi data dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Data hasil koordinasi dan kolaborasi itu kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah kabupaten dan kota pada level pelaksana, agar data penerima update dan tepat sasaran.
"Selain itu, perlu juga diatur dalam regulasi dan atau juknis yang memuat mekanisme penyaluran bantuan penerima bantuan sosial bagi warga terdampak COVID-19, sehingga kelurahan hingga RT/RW memiliki panduan dan pemahaman yang sama," ujarnya.
Permintaan dan saran itu disampaikan karena penyaluran bansos mendominasi laporan yang diterima Ombudsman selama membuka posko pengaduan.
Dari 1.621 pengaduan yang diterima ORI hingga 6 Juli 2020 lalu, sebanyak 1.346 laporan terkait bantuan sosial. Dari jumlah itu, 22,12 persen pengaduan terkait penyaluran yang tidak merata dalam hal waktu dan masyarakat/wilayah sasaran.Â
Kemudian, sebesar 21,50 persen soal prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan tidak jelas. Masyarakat dengan kondisi lebih darurat lapar tetapi tidak terdaftar maupun sebaliknya juga menjadi pokok aduan dengan persentase 20,74 persen.
Lalu, sebesar 18,95 persen mengadu soal terdaftar tetapi tidak menerima bantuan. Bahkan, ada aduan berisikan tidak dapat menerima bantuan di tempat tinggal karena KTP pendatang (7,17 persen) dan kurang koordinasi pemberi bantuan menyebabkan penerimaan bantuan berulang (3,45 persen), serta jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai jumlah yang ditentukan (3,17 persen).
"Banyaknya laporan mengenai penyaluran bantuan sosial memerlukan perhatian yang intensif dari pemerintah dan pemerintah daerah. Beberapa permasalahan dalam pendataan penerima bantuan sosial dapat memunculkan konflik horisontal di masyarakat," kata Amzulian.
Amzulian menuturkan, di Provinsi Lampung terdapat kasus di mana masyarakat sebelumnya terdaftar sebagai penerima BST pada awal Mei, namun belakangan dikeluarkan dari daftar. Ini menyebabkan warga tersebut tidak mendapat bantuan sama sekali mengingat berdasarkan daftar di aplikasi SIKSNG itu Pemda menetapkan warga tersebut tidak mendapat bantuan dari Pemda.
Selain itu, Ombudsman menemukan ada oknum pejabat daerah yang melakukan intimidasi terhadap pelapor sebagai pihak yang berhak mendapat bantuan sosial. Ombudsman juga menyebut terdapat pejabat yang tetap tidak kooperatif dan membantu masyarakat yang berhak mendapat bantuan sosial tanpa alasan yang jelas.
"Oleh karena, perlu pembinaan dan pengawasan lebih lanjut terhadap pelaksanaan pemberian bantuan sosial secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah di tingkat terendah," ujarnya.
Bukan hanya itu, Ombudsman juga mendorong pejabat yang telah berkomitmen menyelesaikan pengaduan dengan menyerahkan bantuan sosial, melalui jadwal distribusi pada Agustus dan seterusnya agar membuktikan komitmennya demi pelayanan publik yang baik.
"Pemerintah diharapkan untuk terus melakukan evaluasi dan kontrol terhadap setiap langkah-langkah kebijakan, serta lebih pro aktif dalam menyiapkan berbagai kemungkinan kendala yang akan muncul di masyarakat," ujarnya.
Sekadar informasi, selain bansos, lembaga pengawas pelayanan publik ini juga menerima aduan mengenai ekonomi dan keuangan (176), transportasi (52), pelayanan kesehatan (39) dan keamanan (8).