Lika-liku Pelarian Djoko Tjandra, Papua Nugini hingga Malaysia
- Antara
VIVA – Kepolisian akhirnya berhasil menangkap Djoko Tjandra dari tempat persembunyiannya di Malaysia. Melalui sebuah tim khusus yang dipimpin langsung Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, pelarian Djoko Tjandra akhirnya terhenti.
Dalam perjalanan kasusnya, Djoko Tjandra telah diputus inkracht (berkekuatan hukum tetap) oleh pengadilan pada tahun 2001, dan putusan pengadilan menyebutkan Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan.
Kasus cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra, bermula ketika pada tanggal 11 Januari 1999 PT Era Giat Prima (EGP) dan PT Bank Bali, Tbk (Bank Bali) menandatangani perjanjian pengalihan/cessie tagihan (piutang) terhadap PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Baca: Kabareskrim Jemput Langsung Djoko Tjandra ke Malaysia
Bank Bali dan EGP menyepakati bahwa hak tagih milik Bank Bali dialihkan kepada EGP dengan harga Rp798 miliar. Pengalihan cessie merupakan transaksi keperdataan yang diatur dan diakui dalam sistem hukum Indonesia.
Kasus pengalihan cessie ini kemudian disidik oleh Kejaksaan Agung pada September 1999. Dimana dalam kasus ini Djoko Tjandra ditahan oleh penyidik Gedung Bundar. Kasus pun berlanjut hingga ke Pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dalam putusan selanya, hakim PN Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa tidak dapat diterima, sehingga Djoko Tjandra dibebaskan. Hakim beralasan apa yang dilakukan terdakwa Djoko Tjandra sebagai Direktur PT Era Giat Prima termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata.
Atas putusan itu kemudian Kejaksaan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada tahun 2000. Dalam putusannya PT DKI mengabulkan permohonan jaksa dan memerintahkan PN Jaksel memeriksa dan mengadili terdakwa.
Kemudian setelah PN Jaksel mengadili dan memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim tetap pada putusannya. Hakim menilai perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana, melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.
Atas bebasnya Djoko Tjandra, Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lalu pada Juni 2001, Majelis hakim menolak kasasi Kejaksaan dan memutuskan Djoko Tjandra tetap lepas dari segala tuntutan.
Lalu pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan alasan adanya novum atau bukti baru. Pengajuan PK berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung sebelumnya, meskipun dalam KUHAP pengajuan PK diajukan oleh terdakwa atau terpidana.
MA kemudian menerima PK yang diajukan Kejaksaan Agung dan menghukum Djoko Tjandra 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta serta uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp546 miliar dirampas untuk negara. Namun, sehari jelang putusan, Djoko Tjandra diketahui sudah meninggalkan Indonesia dengan pesawat carter menuju Papua Nugini melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Belakangan diketahui, Djoko Tjandra telah mendapatkan kewarganegaraan Papua Nugini pada 2012. Namun, alih statusnya dibatalkan karena masih memiliki kasus hukum.
Geger e-KTP Djoko Tjandra
Setelah 11 tahun buron, Djoko Tjandra kembali ke Tanah Air tanpa terdeteksi. Pada 8 Juni 2020, Djoko membuat e-KTP yang kemudian dipergunakannya untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara yang menjeratnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Djoko juga membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada 22 Juni 2020, meski seminggu kemudian paspor itu dicabut. Bahkan, Djoko diketahui dapat berkeliaran bebas dari Jakarta ke Pontianak 'berkat' surat jalan dan surat bebas COVID-19 yang dikeluarkan Kepala Biro Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Brigjen Prasetijo Utomo.
Baca: Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking Jadi Tersangka
Buntut masalah ini, Prasetijo dicopot dari jabatannya dan telah ditetapkan sebagai tersangka karena telah pemalsuan surat jalan untuk Djoko Tjandra. Tidak hanya itu, skandal Djoko Tjandra juga membuat Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dicopot dari jabatan mereka.
Kasus PK Djoko Tjandra pun bergulir. Sempat diwarnai permohonan dari kuasa hukum agar Djoko Tjandra bisa dihadirkan secara daring, tapi permohonan itu pun ditolak hakim. Pada putusannya, majelis hakim tidak menerima permohonan PK Djoko Tjandra.
Dengan demikian, PN Jaksel mengkandaskan upaya Djoko Tjandra terbebas dari hukuman 2 tahun pidana penjara dan denda Rp 15 juta, serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp546 miliar dirampas untuk negara sebagaimana diputuskan Majelis PK MA pada 2009 silam.
Dalam pertimbangannya, PN Jaksel menyatakan Djoko Tjandra tidak pernah menghadiri persidangan permohonan PK. Padahal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2012 yang menyatakan permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA.
"Yang mana bahwa pemohon atau terpidana tersebut tidak hadir di persidangan oleh karenanya pengajuan atau permintaan PK tersebut tidak dapat diterima," kata Ketua PN Jaksel, Bambang Miyanto, Selasa, 28 Juli 2020.
Tinggal di Malaysia
Koordinator MAKI Boyamin Saiman sempat menduga Djoko Tjandra selama 11 tahun ini berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berada di lantai 105 Gedung Signature 106 komplek Tun Razak Echange, Malaysia.
Informasi tersebut diterima Boyamin karena pada Oktober 2019 lalu, seorang lawyer Indonesia bersama kliennya telah bertemu dengan Djoko Tjandra di lantai 105 Gedung Signature 106 komplek Tun Razak Echange, Malaysia.
Menurut Boyamin, pertemuan tersebut dalam rangka menawarkan apartemen milik klien kepada terpidana kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali tersebut.
"Lawyer tersebut saya cukup mengenalnya karena pernah bergabung dengan kantorku Boyamin Saiman Lawfirm," kata Boyamin kepada awak media, Senin, 20 Juli 2020.
Baca: Kejagung Berhentikan Jaksa yang Temui Djoko Tjandra di Malaysia
Selain itu, keyakinan tersebut juga berdasarkan keterangan dari Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking yang menyebutkan bahwa kliennya berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Atas dasar itu, Boyamin mengatakan dibutuhkan peran Presiden Jokowi untuk melakukan lobi dan diplomasi tingkat tinggi kepada Perdana Menteri Malaysia, Muhyidin Yassin untuk memulangkan Djoko Tjandra ke Indonesia.
Menurut Boyamin, ada beberapa alasan mengapa Jokowi harus turun tangan pada persoalan tersebut. Pertama, sebelumnya eks Jaksa Agung M.Prasetyo telah berupaya memulangkan melalui jalur ekstradisi atas Djoko Tjandra, namun masih gagal.
Kedua, kata Boyamin, selama ini telah terdapat upaya timbal balik yang baik dengan pemerintah Malaysia. Ia mencontohkan pemulangan Siti Aisyah dari Malaysia yang dituduh meracun Kim Jong Nam (di bandara KLIA Kuala Lumpur). Saat itu, Situ Aisyah telah disidangkan di Pengadilan Shah Alam Malaysia dengan ancaman hukuman mati.
"Namun atas upaya lobi tingkat tinggi termasuk penyerahan kapal mewah Equaminity kepada Malaysia, maka Siti Aisyah bisa dibawa pulang ke Indonesia dan diterima langsung Presiden Jokowi di Istana Negara pada tanggal 12 Maret 2019," ujarnya.