Polemik POP, Din Syamsuddin Salahkan Jokowi Angkat Nadiem Makarim
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA – Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah M. Din Syamsuddin menilai, bahwa kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tentang Program Organisasi Penggerak (POP) pendidikan adalah kebijakan tidak bijak dan tidak populis (merakyat).
Mundurnya dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, yang kemudian diikuti PGRI, dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar.
"Jelas hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan, khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional," kata Din Syamsuddin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 29 Juli 2020.
Menurut Din, Muhammadiyah dan NU adalah pelopor pendidikan di Indonesia. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu bersama beberapa organisasi lain adalah stakeholder pendidikan nasional.
Sementara, kata Din, yayasan atau foundation seperti Sampoerna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup dari tanah Indonesia.
"Jadi kalau mereka yang dimenangkan, dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi," tegasnya.
Baca juga: Polemik Organisasi Penggerak, Nadiem Minta Maaf ke NU dan Muhammadiyah
Namun, menurut Din, kesalahan bukan pada Nadiem Makarim. Nadiem hanya seorang anak muda, yang lebih banyak berada di luar negeri dengan pendidikannya, maka tidak cukup memiliki pengetahuan dan penghayatan tentang masalah dalam negeri, dan hanya memiliki obsesi yang tidak menerpa di bumi.
"Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pada pendapat saya, adalah Presiden Jokowi sendiri," katanya.
Kata Din, Jokowi lah yang memiliki kewenangan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu.
"Atau, jangan-jangan Presiden Jokowi sendiri tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia dan berani mengambil keputusan yang meninggalkan kelaziman politik. Paling tidak, terkesan Sang Presiden mengabaikan dua organisasi besar yang berjasa menegakkan kemerdekaan Indonesia," tuturnya.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Din menyarankan sebaiknya program itu dihentikan. Menurut dia, lebih baik Kemendikbud bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yang akibat pandemi COVID-19.
"Pemerintah tidak hadir melindungi rakyat. Pemerintah tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan," ujarnya.
Kemudian, pemerintah tidak pernah berpikir, umpamanya, membebaskan kuota internet sehingga anak-anak bangsa bisa belajar dalam jaringan atau jarak jauh. Kemendikbud memaksakan belajar daring atau jarak jauh tapi tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu. (ase)