Hukuman Bagi Jaksa yang Langgar Disiplin

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono
Sumber :
  • VIVA/Vicky Fajri

VIVA - Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, menjelaskan internal kejaksaan yang dimintai klarifikasi terkait foto bareng pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, masih didalami oleh tim pemeriksa.

Menurut dia, ada sembilan orang jaksa yang sudah dimintai klarifikasi oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) di antaranya Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan Nanang Supriyatna, Kasi Pidsus Kejari Jakarta Selatan, Kasi Intel Kejari Jakarta Selatan.

Baca juga: Jaksa Sudah Klarifikasi 10 Orang Terkait Foto Pengacara Djoko Tjandra

Kemudian pegawai piket, jaksa perempuan yang tugas di Kejagung, Asintel Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Aspidsus Kejati DKI Jakarta, satu jaksa perempuan berfoto, seorang jaksa yang dulunya atasan langsung dari jaksa perempuan yang ada di foto.

Menurut dia, di Kejaksaan untuk melakukan klarifikasi terhadap adanya pengaduan laporan masyarakat, atau informasi dari media sosial yang diduga adanya perbuatan tercela, atau indisipliner atau melanggar kode etik yang dilakukan pegawai kejaksaan baik jaksa maupun tata usaha.

Maka, Hari mengatakan mekanisme yang ada di Kejaksaan adalah dilakukan namanya klarifikasi. Jika klarifikasi tersebut ditemukan bukti awal adanya dugaan perbuatan tercela dari pegawai yang bersangkutan, maka statusnya akan ditingkatkan menjadi inspeksi kasus.

“Nah, inspeksi kasus itu nantinya akan disimpulkan. Jika ada pelanggaran disiplin, maka akan dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan PP 53/2010. Dia melanggar apa, dijatuhi hukuman disiplin dari sisi kedinasan, bisa tingkat ringan, sedang hingga berat,” kata Hari di Kantor Kejagung pada Selasa, 28 Juli 2020.

Bahkan, Hari mengatakan tidak menutup kemungkinan jaksa atau pegawai tata usaha yang melanggar adanya unsur pidana bisa diproses secara ketentuan hukum yang berlaku.

Sidang Korupsi Timah, Ahli Ungkap BPKP Tak Bisa Tentukan Nilai Kerugian Negara

“Tidak menutup kemungkinan juga jika nanti hasilnya ada unsur pidana, tentu akan ditangani juga secara pidana,” ujarnya.

Sebelumnya Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking memenuhi panggilan Jamwas untuk mengklarifikasi terkait dugaan adanya pertemuan dengan Kajari Jakarta Selatan Nanang Supriatna pada Senin, 27 Juli 2020.

Belum Ada Hasil Audit, Ahli Hukum: Penetapan Tersangka Tom Lembong Prematur

Sebenarnya, kata dia, pertemuan dengan Nanang tidak ada yang salah sebagai mitra penegak hukum. Karena, hanya untuk kepentingan jadwal persidangan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra. Maka, ia membantah soal kabar adanya lobi-lobi.

“Pertemuan menurut kami hal biasa, saya menanyakan soal jadwal persidangan. Jadi tidak ada yang diberitakan lobi-lobi. Lobi-lobi itu apa sih. Kalau saya bertanya kepada jaksa, itu hal yang wajar,” jelas dia.

Kasus Korupsi Timah, Saksi Ahli: Kerugian Negara Belum Jelas tapi Ekonomi Babel Sudah Hancur

Diketahui, Anita Kolopaking membantah kliennya buron. Menurut Anita, kasus Djoko Tjandra telah diputus inkracht (berkekuatan hukum tetap) oleh pengadilan pada tahun 2001, dan putusan pengadilan menyebutkan Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan.

"Jadi apa yang dilakukan Djoko Tjandra sudah dilakukan eksekusi oleh jaksa tahun 2001. Jadi sebenarnya sudah selesai urusan Djoko Tjandra. Sejak itu (2001) beliau itu orang bebas merdeka," kata Anita di ILC, Selasa, 7 Juli 2020.

Anita merasa prihatin dengan kasus yang menimpa Djoko Tjandra. Selama 21 tahun ini, kliennya tersandera kasus. Padahal, sejak tahun 1999, Djoko Tjandra sudah menjalani tahanan di rutan maupun tahanan kota, sampai akhirnya diputus bebas pada tahun 2001.

Delapan tahun kemudian, tahun 2009, setelah jaksa eksekusi putusan bebas Djoko Tjandra, tiba-tiba jaksa melakukan upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus Djoko Tjandra tahun 2009. "Berarti apa? Saya katakan ini by order, ada kekuasaan yang melakukan ini, saya cuma prihatin," ujarnya.

Anita menilai langkah jaksa itu bentuk kezaliman. Menurutnya, jaksa tidak dapat melakukan PK sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Setidaknya, kata dia, ada dua hal yang ditabrak jaksa. Pertama adalah subjek hukumnya, yakni pemohon PK hanya terpidana atau ahli waris.

Kedua, objek hukumnya, yakni putusan kasus Djoko Tjandra adalah dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). "Jadi dua subjek dan objek ini sudah dilanggar," tegasnya.

Di samping itu, kasus yang menimpa Djoko Tjandra, kata Anita, juga bukan pidana korupsi tapi murni kasus perdata yakni transaksi cessy antara dua perusahaan, Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima.

"Di situ jelas masalah hukumnya, tidak ada kerugian negara sepeser pun, tapi yang benar uang Djoko Tjandra dirampas. Itu kenyataannya," ujar Anita.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya