Jaksa Sudah Klarifikasi 10 Orang Terkait Foto Pengacara Djoko Tjandra
- VIVA/Ahmad Farhan
VIVA - Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung telah minta klarifikasi terhadap sepuluh orang yang diduga fotonya beredar di media sosial bersama Pengacara Djoko Tjandra, Anita Dewi Anggraeni Kolopaking.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, menjelaskan sepuluh orang yang diminta klarifikasi, antara lain Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan Nanang Supriyatna, Kasi Pidsus Kejari Jakarta Selatan, Kasi Intel Kejari Jakarta Selatan.
Baca juga: Foto Bersama Pengacara Djoko Tjandra, Delapan Jaksa Diperiksa
Kemudian pegawai piket, jaksa perempuan yang tugas di Kejagung, Asintel Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Aspidsus Kejati DKI Jakarta, satu jaksa perempuan berfoto, seorang jaksa yang dulunya atasan langsung dari jaksa perempuan yang ada di foto.
Hari mengatakan kebetulan diduga pertemuan itu ketika yang bersangkutan masih menduduki jabatan di Kejagung, sehingga perlu dimintai keterangan atasannya apakah yang bersangkutan pada saat itu melakukan kegiatan sepengetahuan atasannya.
“Ditambah lagi satu yaitu Anita Kolopaking. Jadi hingga Senin kemarin, sudah 10 orang yang dilakukan klarifikasi terhadap adanya berita itu,” kata Hari di Kantor Kejaksaan Agung pada Selasa, 28 Juli 2020.
Harusnya, kata dia, hari ini tim pemeriksa juga meminta klarifikasi terhadap dua orang tapi tidak ada kabar kedatangannya. Untuk itu, ia berharap mudah-mudahan tidak dalam waktu lama bisa dimintai klarifikasi.
Selain itu, Hari berharap semua yang ada dalam pemberitaan itu pihak-pihak terkait diharapkan bisa memberikan keterangan sehingga nanti bisa mengambil kesimpulan yang tepat terhadap persoalan ini.
“Sehingga masalah ini bisa kita sampaikan kesimpulannya kepada publik. Dua orang itu dari internal (kejaksaan) satu orang, dari luar satu orang,” kata dia.
Sebelumnya Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, memenuhi panggilan Jamwas untuk mengklarifikasi terkait dugaan adanya pertemuan dengan Kajari Jakarta Selatan Nanang Supriatna pada Senin, 27 Juli 2020.
Sebenarnya, kata dia, pertemuan dengan Nanang tidak ada yang salah sebagai mitra penegak hukum. Karena, hanya untuk kepentingan jadwal persidangan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra. Maka, ia membantah soal kabar adanya lobi-lobi.
“Pertemuan menurut kami hal biasa, saya menanyakan soal jadwal persidangan. Jadi tidak ada yang diberitakan lobi-lobi. Lobi-lobi itu apa sih. Kalau saya bertanya kepada jaksa, itu hal yang wajar,” kata dia.
Anita Kolopaking membantah kliennya buron. Menurut Anita, kasus Djoko Tjandra telah diputus inkracht (berkekuatan hukum tetap) oleh pengadilan pada tahun 2001, dan putusan pengadilan menyebutkan Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan.
"Jadi apa yang dilakukan Djoko Tjandra sudah dilakukan eksekusi oleh jaksa tahun 2001. Jadi sebenarnya sudah selesai urusan Djoko Tjandra. Sejak itu (2001) beliau itu orang bebas merdeka," kata Anita di ILC, Selasa, 7 Juli 2020.
Anita merasa prihatin dengan kasus yang menimpa Djoko Tjandra. Selama 21 tahun ini, kliennya tersandera kasus. Padahal, sejak tahun 1999, Djoko Tjandra sudah menjalani tahanan di rutan maupun tahanan kota, sampai akhirnya diputus bebas pada tahun 2001.
Delapan tahun kemudian, tahun 2009, setelah jaksa eksekusi putusan bebas Djoko Tjandra, tiba-tiba jaksa melakukan upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus Djoko Tjandra tahun 2009.
"Berarti apa? Saya katakan ini by order, ada kekuasaan yang melakukan ini, saya cuma prihatin," ujarnya.
Anita menilai langkah jaksa itu bentuk kezaliman. Menurutnya, jaksa tidak dapat melakukan PK sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Setidaknya, kata dia, ada dua hal yang ditabrak jaksa. Pertama adalah subjek hukumnya, yakni pemohon PK hanya terpidana atau ahli waris.
Kedua, objek hukumnya, yakni putusan kasus Djoko Tjandra adalah dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). "Jadi dua subjek dan objek ini sudah dilanggar," tegasnya.
Di samping itu, kasus yang menimpa Djoko Tjandra, kata Anita, juga bukan pidana korupsi tapi murni kasus perdata yakni transaksi cessy antara dua perusahaan, Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima.
"Di situ jelas masalah hukumnya, tidak ada kerugian negara sepeser pun, tapi yang benar uang Djoko Tjandra dirampas. Itu kenyataannya," ujar Anita.
Pada 2009 lalu, dalam putusan MA atas PK yang diajukan jaksa, Djoko Tjandra dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana dua tahun penjara.
Selain pidana penjara, Djoko juga harus membayar denda Rp15 juta serta uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp546 miliar dirampas untuk negara. Namun, sehari jelang putusan, Djoko Tjandra diketahui sudah meninggalkan Indonesia dengan pesawat carter menuju Papua Nugini. (ren)