'Turis Gila' Pemungut Sampah di Senggigi

VIVAnews - Luar biasa yang dilakukan Gavin Birch, turis asal Perth Australia. Tanpa pamrih, selama  24 tahun dia berjibaku membersihkan sampah di Pantai Senggigi, Lombok Barat.

Bahkan, lelaki berusia 68 tahun yang kini telah berganti menjadi Khusen Abdullah, dikenal sebagai turis pemulung di Senggigi.

Sejumlah warga Lombok  menyebut dirinya dengan 'turis gila' - karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah.

Meski demikian, Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas dia yakin dengan perjuangannya - untuk mengajak orang hidup bersih.

"Whatever. Saya hanya ingin mengajak hidup bersih melalui program 'Indonesia Bersih dan Hijau',"kata  Birch alias Khusen yang ditemui VIVAnews di Senggigi, Lombok Barat, Kamis 11 Februari 2010.

Bagaimana bisa dia terdampar dan jadi pemungut sampah di Senggigi?

Dikisahkan Khusen, dia menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan.

Yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah. Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia.

Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan.

Sejak itu lah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.

Ada yang memandang sebelah mata, ada yang memberi simpati.

Misalnya, Haji Hairi Asmuni, lurah Kampung Melayu Ampenan saat itu. Dia meminta Khusein untuk menetap di Lombok, sebagai bentuk apresiasi perannya membersihkan lingkungan. 

"Saya terkejut saat seluruh barang bawaan saya di hotel hilang. Ternyata barang bawaan saya itu dibawa Haji Asmuni, sejak itu saya memutuskan tinggal di Lombok sambil membantu warga membersihkan sampah,"ujar dia, menceritakan kisah hidupnya.

Berpredikat sebagai 'turis gila' atau 'pemulung' tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta.

Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.

Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan akan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri.

"Sebagian dana kegiatan program 'Indonesia Bersih dan Hijau' ini saya peroleh dari bantuan masyarakat sejumlah lembaga atau perusahaan, sebagian lainnya saya biayai sendiri, "ujar pria beranak dua itu.

Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai 'Keep Australia Beautiful'.  Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.

Program kebersihan yang dijalankan Khusen di Lombok Barat berjalan lancar. Bahkan penumpukan sampah disejumlah pasar berhasil dikurangi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah. Memasuki tahun 2000 dia menawarkan kerjasama dengan Pemerintah Kota Mataram untuk menangani sampah disejumlah pasar seperti di Cakaranegara, Pasar Seni dan Ampenan.

Namun, kata Khusen, programnya itu tidak disambut baik oleh pemerintah Kota Mataram saat itu. Alasannya, minim dana. Bahkan Khusen harus merogoh kocek pribadinya untuk membeli aki mobil seharga Rp 355 ribu untuk mobil truk pengangkut sampah milik Dinas Kebersihan Kota Mataram.

"Masalah kebersihan ini sebenarnya bukan saja tanggung jawab pemerintah, tapi semua kita yang setiap harinya memproduksi sampah. Kita minta komitmen semua pihak untuk ikut bertanggung jawab terhadap kebersihan,"jelas Khusen.

Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung-kampung - untuk mengangkuti sampah dari perkampungan.

Untuk itu, Khusen harus membayar ongkos angkut pada petugas kebersihan Rp 250 ribu perbulan. Meski demikian, dia tak mengeluh. "Untuk amal," kata dia.

Sementara, untuk membersihkan lingkungan terutama disekitar pantai Senggigi, dia  dibantu 18 ibu-ibu nelayan yang dia bayar Rp 1 5 ribu sehari.

Meski lelah dan kerap dicemooh, kerja keras Khusein selama 24 tahun tak sia-sia.

Sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Jalan Raya Senggigi Nomor 999 Batulayar Lombok Barat, tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.

"Saya beruntung mendapat kawan untuk bergerak membersihkan lingkungan, biarlah saya habiskan sisa hidup saya demi lingkungan yang bersih dan sehat," ujar Khusein.

Laporan: Edy Gustan| NTB

Mitos atau Fakta! Milenial Justru Lebih Baik dalam Mengasuh Anak?