Bareskrim Gandeng KPK Usut Dugaan Aliran Dana Djoko Tjandra

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo
Sumber :
  • Istimewa

VIVA - Tim Khusus Bareskrim Polri telah menetapkan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, sebagai tersangka kasus pemalsuan surat untuk Djoko Tjandra. Kini, penyidik mulai menelusuri dugaan aliran dana.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Listyo Sigit Prabowo, mengatakan penyidik saat ini sudah membuka penyelidikan untuk melakukan tracing terhadap dugaan aliran dana yang menyasar kepada siapa saja.

“Tidak menutup kemungkinan, kita akan kerja sama dengan KPK dalam rangka mengusut aliran dana dimaksud,” kata Listyo di Gedung Bareskrim pada Senin, 27 Juli 2020.

Baca juga: Foto Bersama Pengacara Djoko Tjandra, Delapan Jaksa Diperiksa

Menurut dia, upaya penyidik Bareskrim menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi tentu untuk menyelidiki terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses keluarnya surat jalan Djoko Tjandra yang dilakukan Prasetijo.

“Tentunya upaya kita dalam menerapkan UU Tipikor,” ujarnya.

Saat ini, kata dia, penyidik sudah memeriksa kurang lebih 20 orang sebagai saksi dalam kasus dugaan pemalsuan surat untuk Djoko Tjandra tersebut. Tentu, penyidik terus bekerja melakukan pendalaman terhadap kemungkinan munculnya tersangka baru terkait proses perjalanan Djoko Tjandra.

“Mulai dari proses masuknya, kegiatan-kegiatan yang dia lakukan selama proses mengurus PK dan sampai yang bersangkutan kembali keluar dari Indonesia. Jadi, tim terus bekerja secara maksimal dan kita terus menggali secara objektif dan transparan untuk disampaikan ke publik,” katanya.

Polri Buka Suara soal Kapan Sidang Etik Irjen Napoleon Bonaparte

Sebelumnya, Brigjen Prasetijo ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan surat sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1e KUHP, dan/atau Pasal 426 ayat 1 KUHP dan/atau Pasal 221 ayat 1 ke-2 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.

Kasus cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra, bermula ketika pada tanggal 11 Januari 1999 PT Era Giat Prima (EGP) dan PT Bank Bali, Tbk (Bank Bali) menandatangani perjanjian pengalihan/cessie tagihan (piutang) terhadap PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Disindir Tak Bisa Tangkap Harun Masiku, Ketua KPK : Kita Bekerja Bukan untuk Berkomentar!

Bank Bali dan EGP menyepakati bahwa hak tagih milik Bank Bali dialihkan kepada EGP dengan harga Rp798 miliar. Pengalihan cessie merupakan transaksi keperdataan yang diatur dan diakui dalam sistem hukum Indonesia.

Kasus pengalihan cessie ini kemudian disidik oleh Kejaksaan Agung pada September 1999. Dimana dalam kasus ini Djoko Tjandra ditahan oleh penyidik Gedung Bundar. Kasus pun berlanjut hingga ke Pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Kompolnas Desak Polri Segera Sidang Etik Irjen Napoleon Bonaparte

Dalam putusan selanya, hakim PN Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa tidak dapat diterima, sehingga Djoko Tjandra dibebaskan. Hakim beralasan  apa yang dilakukan terdakwa Djoko Tjandra sebagai Direktur PT Era Giat Prima termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata.

Atas putusan itu kemudian Kejaksaan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada tahun 2000. Dalam putusannya PT DKI mengabulkan permohonan jaksa dan memerintahkan PN Jaksel memeriksa dan mengadili terdakwa.

Kemudian setelah PN Jaksel mengadili dan memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim tetap pada putusannya. Hakim menilai perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana, melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

Atas bebasnya Djoko Tjandra, Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lalu pada Juni 2001, Majelis hakim menolak kasasi Kejaksaan dan memutuskan Djoko Tjandra tetap lepas dari segala tuntutan.

Lalu pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan alasan adanya novum atau bukti baru. Pengajuan PK berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung sebelumnya, meskipun dalam KUHAP pengajuan PK diajukan oleh terdakwa atau terpidana.

MA kemudian menerima PK yang diajukan Kejaksaan Agung dan menghukum Djoko Tjandra 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta. Atas putusan PK tersebut Kejaksaan memanggil Djoko Tjandra untuk dieksekusi. Namun itu eksekusi itu tidak berhasil karena Djoko Tjandra telah berada di Papua Nugini dan telah mendapatkan kewarganegaraan di sana.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya