Larangan Pembangunan Makam Adat Sunda Wiwitan Berlanjut Kontroversi
- bbc
Diskriminasi dan intoleransi diduga kembali dialami oleh penghayat kepercayaan di Indonesia, ketika pembangunan makam masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan dilarang oleh pemerintah daerah Kuningan, Jawa Barat, sebab dianggap tak mengantongi IMB dan dikhawatirkan menjadi tempat pemujaan.
SETARA Institute - lembaga yang mengadvokasi demokrasi dan hak asasi manusia - menyebut apa yang dialami AKUR Sunda Wiwitan sebagai "penyangkalan terhadap eksistensi dan hak" kelompok minoritas penghayat kepercayaan.
Pendamping masyarakat adat Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri, menyebut apa yang dialami pihaknya sebagai "diskriminasi yang sistematis".
"Kami merasa hak kami sebagai warga negara terdiskriminasi secara sistematis, secara terstruktur, dan sistematis," ujar Djuwita kepada BBC News Indonesia, Rabu (22/07).
Namun, Pemda Kuningan menampik tudingan diskriminasi dan berdalih pembangunan bangunan yang dianggap sebagai tugu tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Bupati Kuningan, Acep Purnama, menyebut langkah penyegelan dipilih sebagai langkah "persuasif dan paling baik".
Makam yang dikategorikan sebagai tugu
Makam berupa dua liang lahat dan batu berukuran besar yang ditatah seperlunya hingga berbentuk tugu – atau disebut batu satangtung oleh warga lokal – terletak di desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Pembangunan makam itu kini terbengkalai.
Garis segel berwarna oranye bertuliskan `DILARANG MELINTAS` dan `SATPOL PP KAB KUNINGAN` tampak mengelilingi bangunan tersebut, sementara pemberitahuan penyegelan terpampang di batu besar yang menjadi sentral dari bangunan itu.
Satuan Polisi (Satpol PP) menyegel bangunan yang bakal menjadi makam tokoh Sunda Wiwitan, yakni Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih, pada Senin (20/07) lalu.
Saat penyegelan, ratusan anggota ormas Islam turut datang ke lokasi. Beberapa dari mereka berorasi menyuarakan sentimen SARA tentang pembangunan makam.
Djuwita Djatikusumah Putri, yang juga merupakan putri dari Pangeran Djatikusumah, menyebut apa yang dialami oleh keluarganya sebagai diskriminasi yang sistematis.