Kelakuan Djoko Tjandra Minta Sidang Daring, MAKI: Itu Hina Pengadilan
- ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
VIVA – Permintaan terpidana perkara pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra agar persidangan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang dia ajukan agar digelar secara daring atau teleconference dinilai sebagai penghinaan terhadap pengadilan. Hal itu karena status Djoko Tjandra merupakan buronan yang dicari pemerintan dan aparat penegak hukum di Indonesia sejak 11 tahun silam.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan selama masa pandemi COVID-19 sebagian besar sidang perkara pidana memang digelar secara daring. Namun, tekan Boyamin, sidang secara daring hanya berlaku bagi terdakwa yang berada di Indonesia, bukan buronan seperti Djoko Tjandra.
Untuk itu, Boyamin menilai sudah semestinya PN Jaksel menolak permintaan Djoko Tjandra agar sidang permohonan PK yang diajukannya digelar secara daring.
"Sidang daring perkara pidana yang selama ini sudah berlangsung adalah terhadap terdakwa yang berada di Indonesia baik ditahan atau atau tidak ditahan serta bukan buron. Jadi permintaan sidang daring oleh Joker jelas-jelas bentuk penghinaan terhadap pengadilan sehingga sudah semestinya ditolak oleh hakim," kata Boyamin Kepada awak media, Selasa 21 Juli 2020.
Djoko Tjandra sebelumnya kembali mangkir atau tidak hadir dalam persidangan PK yang diajukan dirinya di PN Jakarta Selatan, Senin, 20 Juli 2020. Dengan demikian, Djoko telah tiga kali tidak hadir dalam sidang.
Seperti dua persidangan sebelumnya pada 29 Juni 2020 dan 6 Juli 2020, Djoko mengaku tidak hadir dalam persidangan hari ini lantaran sedang sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Padahal, dalam persidangan sebelumnya, Majelis Hakim telah mengultimatum Penasihat Hukum untuk menghadirkan Djoko Tjandra di persidangan.
Alih-alih mematuhi hakim, melalui surat yang ditandatanganinya di Kuala Lumpur, Malaysia tertanggal 17 Juli 2020, Djoko justru meminta Majelis Hakim menggelar sidang pemeriksaan atas PK yang diajukannya secara daring.
Boyamin menegaskan, Djoko Tjandra atau yang dikenal dengan nama Joker sudah sepatutnya sadar diri dengan statusnya sebagai buronan dengan tidak mendikte pengadilan.
Di sisi lain, Boyamin meminta PN Jaksel tidak meneruskan persidangan karena Djoko Tjandra telah secara nyata tidak menghormati proses persidangan. Apalagi, mengingat tindakannya selama ini yang kerap mengangkangi hukum di Indonesia.
"Joker dengan ulahnya selama ini telah mencederai rasa keadilan rakyat sehingga tidak boleh mendapat dispensasi berupa sidang daring," ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Boyamin menduga Djoko Tjandra tidak benar-benar sakit seperti yang diklaim penasihat hukumnya. Dugaan ini menguat lantaran dalam tiga kali persidangan yang telah digelar, kuasa hukum hanya menyampaikan surat keterangan sakit tanpa ada keterangan secara pasti penyakit yang diderita Djoko Tjandra.
"Di sisi lain diduga sakitnya Joker hanyalah pura-pura karena kenyataannya dia tidak opname di rumah sakit dan hanya surat keterangan sakit," katanya.
Untuk itu, Boyamin meminta PN Jaksel tidak lagi memberi kesempatan kepada Djoko Tjandra untuk mengulur-ulur waktu dengan klaim sakit. Boyamin juga minta PN Jaksel tidak meneruskan persidangan dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung (MA).
"Pengadilan tidak boleh lagi memberi kesempatan untuk mengulur waktu karena kenyataannya Pengadilan telah berbaik hati dengan memberikan kesempatan sidang sebanyak tiga kali. Untuk itu setop sampai sini dan berkas perkara langsung dimasukkan arsip dan tidak dikirim ke MA," imbuhnya. (ren)