ICW: MLA dengan Swiss Bagian Kecil, Segera Sahkan RUU Perampasan Aset
- ANTARA FOTO/Galih Pradipta
VIVA – Pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang Undang (RUU) Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss untuk menjadi UU.
Dengan begitu, penelusuran aset di Swiss yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, kini mulai terbuka. Namun, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), itu hanya bagian terkecil dari legislasi yang mendukung perampasan aset hasil kejahatan korupsi di luar negeri.
Hal penting saat ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.
"Hal yang paling penting saat ini adalah bagaimana DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang Undang Perampasan Aset. Sebab, RUU ini kami yakini menjadi paket penting untuk dapat merampas aset hasil kejahatan korupsi," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada awak media, Kamis, 16 Juli 2020.
Baca juga: Pimpinan KPK Harap Vonis Terdakwa Penyerang Novel Sesuai Fakta Sidang
Kurnia melanjutkan, di masa yang akan datang, jika RUU ini sudah disahkan, penegak hukum tidak lagi bergantung dengan kehadiran para pelaku korupsi di Indonesia.
Sekalipun menjadi buronan, aset mereka yang diduga berasal dari kejahatan korupsi, jika tidak dapat dibuktikan sebaliknya bisa dirampas dalam persidangan.
"Metode pembuktiannya pun akan lebih mudah, karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian," ujar Kurnia.
Namun, Kurnia melanjutkan, RUU Perampasan Aset sudah menjadi tunggakan legislasi DPR dan pemerintah sejak 2012. Dalam konteks ini, publik juga dapat dengan mudah melihat bahwa pembentuk UU memang tidak pernah memikirkan penguatan legislasi pemberantasan korupsi.
"Dapat dibayangkan, legislasi penting seperti RUU Perampasan Aset ini saja selama delapan tahun tidak kunjung dibahas oleh pembentuk UU. Sedangkan revisi UU KPK, prosesnya sangat kilat, praktis kurang dari 15 hari saja," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, menyebut pemerintah akan memulai prosedur pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.
Hal tersebut disampaikan Yasonna usai DPR menyetujui Rancangan Undang Undang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss untuk menjadi UU dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa lalu.
Yasonna menegaskan, aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum UU tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Hukum Timbal Balik dalam Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss berlaku tetap bisa dilacak dan disita oleh negara.
"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," kata Yasonna.
Yasonna juga menyampaikan, pemerintah mencoba menjalin Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) serupa dengan negara-negara lain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional.
"UU kali ini kan khusus antara Swiss dengan Indonesia. Sebelumnya, kita juga sudah mengikat perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Rusia, Iran, dan sejumlah negara lain. Kita akan teruskan ini. Misalnya dengan Serbia, walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draf dan akan kita bahas tahun depan setelah pandemi COVID-19 ini berakhir," tuturnya. (art)