Pemerintah RI Bersiap Sita Aset Kejahatan yang Disimpan di Swiss

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly menyampaikan, pemerintah akan mulai prosedur pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Dasar hukum terkait hal tersebut sudah ditetapkan.

Blokir 498 Entitas Ilegal, Satgas PASTI Wanti-wanti Jangan Tergiur Penawaran Jasa Pelunasan Pinjol

Hal tersebut disampaikan Yasonna usai DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss untuk menjadi UU dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 14 Juli 2020.

Dia mengatakan, langkah selanjutnya pemerintah akan membentuk tim bersama dengan Bareskrim, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Kementerian Luar Negeri untuk melakukan asset tracing.

BI dan Otoritas Moneter Singapura Perpanjang Kerja Sama Keuangan hingga 2027, Intip Detailnya

"Kami juga nantinya akan bekerja sama dengan pihak Swiss untuk membuka dan meminta data-data yang ada. Dengan dasar hukum ini, kita sudah melakukan hal tersebut," kata Yasonna dikutip Rabu, 15 Juli 2020.

Dia juga menegaskan, dengan UU ini, aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss akan lebih mudah dilacak dan disita oleh negara.

Rapat Bareng Menkum, Yasonna Singgung soal Titipan RUU dari Pemerintah kepada DPR

"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," ujarnya..

Politikus PDIP tersebut juga menyampaikan bahwa pemerintah akan terus mencoba menjalin perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) serupa dengan negara-negara lain. Langkah itu sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional.

"Kita akan teruskan hal ini. Misalnya dengan Serbia, walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draft dan akan kita bahas tahun depan setelah pandemi COVID-19 ini berakhir," ujarnya.

Adapun, UU yang mengatur tentang MLA dengan Swiss ini merupakan buah dari upaya panjang yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pembicaraan dirintis pada 2007 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta.

Ketika itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintah Indonesia dan Swiss yang bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negara tersebut. Pembicaraan kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia.

Namun redup akibat berbagai hambatan, termasuk teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss. Diskusi kembali hidup di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan perundingan pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali.

Delegasi Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 30-31 Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss.

Baca juga: Menko Luhut 'Pelototi' Tingkat Komponen Dalam Negeri di Pertamina

Barulah pada 4 Februari 2019 Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.

Saat membacakan pendapat akhir Presiden atas RUU tersebut, Yasonna menyebutkan bahwa pengesahan RUU itu menjadi UU akan meningkatkan efektivitas kerja sama pemberantasan tindak pidana yang bersifat transnasional. Meliputi tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana fiskal.

"Perjanjian ini juga memuat fitur-fitur penting yang sesuai dengan tren kebutuhan penegakan hukum sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana yang dihadapi kedua negara," kata menteri kelahiran Sorkam, Tapanuli Tengah, tersebut.

Yasonna menambahkan, Penyelesaian kasus tindak pidana transnasional ini tidak mudah. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara.

Baca juga: Menkumham Bantah Djoko Tjandra Berkeliaran di Indonesia

“Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerja sama bilaterlal dan multilateral, khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya