Tolak Kawin Tangkap, Praktik Culik Perempuan di Sumba untuk Dinikahi
- bbc
Bintang juga memutuskan untuk mengunjungi Kota Waingapu di Sumba Timur untuk menghadapi masalah tersebut, termasuk mengadakan diskusi bersama masyarakat setempat dalam upaya untuk mengakhiri praktik `kawin tangkap`.
Dalam kunjungan pada pekan lalu itu, Bintang menghadiri penandatanganan kesepakatan pemerintah daerah pada tingkat kabupaten dan provinsi yang menolak `kawin tangkap` adalah budaya Sumba. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.
"Kita sudah mendengar dari tokoh adat, tokoh agama, bahwa kawin tangkap yang viral itu, bahwa di sini, bukan budaya Sumba. Itu menjadi kata kunci," kata Bintang, seperti yang dilaporkan Heinrich Dengi, wartawan di kota Waingapu, kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/07).
"Terkait dengan kesepakatan bersama, yang sudah ditandatangani, itu tidak hanya berakhir di sini," tambahnya.
Namun, ia tidak merinci upaya konkret yang akan dilakukan.
`Bukan budaya turun-temurun`
Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, menjelaskan bahwa kawin tangkap bukan budaya murni Sumba yang diwariskan secara turun-temurun.
"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - `Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?` - begitu di Sumba Timur.
"Kalau di Sumba Barat - `Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?` - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans kepada BBC News Indonesia via telepon (05/07).
Setelah pertanyaan itu dijawab, lanjut Frans, baru prosedur peminangan resmi dimulai, termasuk pembasahan tanggal pernikahan dan penyerahan belis.