Perppu Penanganan COVID-19 Kian Rentan Modus Korupsi?
- youtube.com/tvOneNews/
VIVA – Reaksi Presiden Joko Widodo yang tak dapat menyembunyikan kejengkelannya. Hal itu tampak saat kala mengevaluasi kinerja kabinet Indonesia Maju dalam penanganan pandemi Corona yang sempat jadi sorotan publik.
Presiden menilai, penanganan pandemi yang dilakukan oleh para pembantunya dianggap masih lamban. Padahal, anggaran ratusan triliun Rupiah telah disiagakan.
Payung hukum yang seakan memaklumi pelebaran dan penggunaan anggaran itu di tengah situasi darurat, juga telah disetujui oleh Presiden maupun parlemen.
Baca juga: Wisuda di Zaman COVID-19, Mahasiswa UKSW Gunakan Inovasi Robot
Tak hanya itu, dalam pidatonya itu pun Jokowi juga sempat menyampaikan bakal berupaya keras agar dana yang disiapkan tangani Corona bisa bergulir lebih cepat ke masyarakat dengan menyiapkan sejumlah skenario, demi bisa mendorong jajaran kabinetnya lebih sigap bekerja.
Lantas, apakah langkah-langkah Presiden dalam membuka kelonggaran skema aturan penggunaan dana penanganan ccorona sudah dapat dibilang tepat?
“Saya sangat sependapat dengan pemerintah, menerbitkan Perppu sebagai payung hukum untuk menyatakan COVID-19 adalah darurat, sehingga bisa ditangani dengan cara-cara darurat," ungkap pakar hukum pidana, Teuku Nasrullah dalam program Kabar Petang tvOne.
Baca juga: Setelah 4 Bulan Ditutup, Masjid Al Hikmah New York Dibuka Lagi
"Keadaan darurat boleh ditangani dengan darurat, tapi jika ada penyimpangan-penyimpangan, maka tidak berarti bahwa mereka bebas dari hukum," tambahnya.
Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa sejumlah pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Pasal 27 Undang-undang ayat 2 Tahun 2020 ini memang memuat semacam imunitas bagi pemerintah atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam penanganan COVID ini. Padahal kita tahu pengalaman bagaimana anggaran kebencanaan ini, itu juga sangat rentan terhadap korupsi. Itu yang harus selalu dipantau oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum," ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Misbah Hasan.
Baca juga: Krisis Kepunahan, Orangutan Terancam Tinggal Kenangan
Kondisi krisis memaksa para pemangku kebijakan pada situasi dilematis. Irit salah, tapi tidak berarti juga harus jor-joran.
Bahkan jerat pidana membayangi para pengambil keputusan ketika hendak bergerak cepat. Sedangkan payung hukum yang disiapkan untuk mengawal penggunaan anggaran pun juga tak sepi dari sorotan.
"Korupsi di saat bencana dijatuhi hukuman mati atau ini merupakan hukuman tertinggi dalam perundang-undangan. Nah kalau tadi ada aturan tentang imunitas, ini kan bertentangan dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Makanya Pasal 27 Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 ini harus diubah," kata Misbah Hasan.
"Ketika kondisi krisis seperti ini, pasti akan terjadi orang-orang yang punya moral Hazard ingin memanfaatkan situasi. Ini tidak akan hilang pasti ada, ya makanya fungsi DPR mengawasi akan terus kita lakukan," kata Wakil Ketua Banggar DPR Cucun Ahmad Syamsurijal.
"Walaupun di pasal 27 itu ya sebetulnya untuk memberikan satu kekuatan moral bagaimana para pejabat pemegang policy atau yang melaksanakan daripada policy yang ada di negara kita ini mereka biar tidak dibayang-bayangi ketakutan tapi tetap kita lakukan terlebih early warning system," tegasnya.