Papua Waspada Gelombang Kedua Covid-19: Ini Bukan Kutukan Tuhan
- bbc
Papua mewaspadai gelombang kedua kasus virus corona (Covid-19) seiring dengan peningkatan kasus di lima kabupaten di wilayah pegunungan dan pelonggaran penerbangan di sejumlah daerah.
Kondisi geografis dan minimnya fasilitas kesehatan di wilayah pegunungan, serta persepsi penduduk yang menganggap Covid-19 sebagai `kutukan Tuhan` disebut mempersulit penanganan kasus di wilayah itu.
Ahli epidemiologi dari Universitas Cendrawasih, Hasmi, mengungkapkan meski fasilitas tes Covid-19 sudah cukup memadai, namun kurangnya tenaga medis masih menjadi kendala di Papua dan Papua Barat.
"Cuma kita harus hati-hati jangan sampai ada second wave, artinya gelombang kedua menerpa kita dan sumbangannya terutama dari daerah-daerah gunung tadi," ujar Hasmi kepada BBC News Indonesia, Senin (29/06).
Dia menegaskan pentingnya pelacakan masif untuk mencegah virus semakin menyebar di wilayah itu.
Sementara, Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya `terobosan` dalam penanganan Covid-19 di `daerah yang menunjukkan tren penyebaran yang masih tinggi`.
`Krisis belum berakhir`
Lima kabupaten di kawasan pegunungan Papua, yakni Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Memberano Tengah dan Yalimo, melaporkan adanya kasus Covid-19 terkonfirmasi di wilayah itu.
Juru bicara Satgas Pengendalian, Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Papua, Silwanus Sumule, mengonfirmasi kasus terbanyak terjadi di Jayawijaya dengan jumlah 22 kasus per Minggu (28/06).
Padahal, Jayawijaya merupakan pusat pelayanan kesehatan bagi kabupaten lain di kawasan Pegunungan Tengah Papua, seperti Lanny Jaya, Tolikara, Memberano Tengah dan Yalimo.
Adapun Memberano Tengah dan Yalimo telah melaporkan adanya dua kasus positif Covid-19, sedangkan Lanny Jaya dan Puncak Jaya, masing-masing melaporkan satu kasus.
Maria Louisa Rumeteray, salah satu dokter yang bertugas di RSUD Wamena, ibu kota Jayawijaya, mengatakan penambahan kasus di Jayawijaya bermakna pandemi Covid-19 belum berakhir dan belum bisa dipastikan kapan ini akan berakhir.
"Apalagi dengan pembukaan penerbangan penumpang pada 26 Juni 2020, tentu kami akan mengalami perubahan-perubahan ke depan. Ke depannya kami belum bisa prediksi," ujar Maria.
Padahal, selain menghadapi Covid-19 warga Jayawijaya masih berjibaku dengan penyakit berbahaya lain, seperti tuberculosis, malaria, dan HIV/AIDS.
Merujuk data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tercatat hanya ada 122 dokter di Jayawijaya.
Ahli epidemiologi dari Universitas Cendrawasih, Hasmi, menyebut penyebaran Covid-19 di Pegunungan Tengah `menjadi indikasi yang tidak baik`.
Sebab, selain fasilitas yang tidak memadai, dan kondisi geografis yang sulit, masih ada resistensi dari masyarakat terkait Covid-19. Seperti yang terjadi di Jayawijaya.
"Petugas [medis] kesulitan karena ketika penduduk akan dikarantina atau dinyatakan sebagai penderita Covid-19 mereka keberatan, dan jika mereka dikarantina akan meminta denda," jelas Hasmi.
`Penyakit kutukan Tuhan`
Hasmi menjelaskan, banyak warga Papua yang belum teredukasi dengan baik terkait Covid-19. Justru, stigma yang ditimbulkan penyakit ini membuat warga ketakutan.
"Karena ini penyakit baru, takutnya ada stigma dari masyarakat dan mereka dijauhi kemudian dikatakan jadi pembawa penyakit sehingga ketakutannya luar biasa," ungkap Hasmi.
Senada, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga, Innah Gwijangge menyebut masih banyak penduduk di Nduga yang memiliki stigma bahwa Covid-19 adalah kutukan Tuhan.
Sebagian masyarakat, kata Innah, juga merasa tidak akan kena Covid-19 karena menganggap diri mereka orang Papua yang identik dengan fisik yang kuat.
Stigma-stigma ini, akunya, menyulitkan dalam penanganan Covid-19 di Nduga.
"Stigma masyarakat tentang Covid-19 adalah hukuman Tuhan, kami sampaikan bahwa terjadi pandemi di seluruh dunia, ini bukan sebagai penyakit kutukan Tuhan tapi virus yang mudah sekali menyebar sehingga kami harus selalu waspada," kata dia.
Innah menjelaskan, perubahan perilaku masyarakat di masa pandemi menjadi tantangan tersendiri.
"Berkaitan dengan kultur dan budaya masyarakat Nduga, kalau tidak memberikan salam, itu dianggap kita marah sehingga kita berikan edukasi kalau beri salam kepada keluarga yang bertemu wajib cuci tangan gunakan sabun atau alat pembersih tangan," kata dia.
Kendala lain, kata dia, dengan kondisi geografis berupa pegunungan, transportasi menjadi kendala tersendiri yang dialami pemerintah kabupaten Nduga.
Dia menjelaskan, hanya dua distrik di Nduga yang bisa dijangkau via darat. Sementara 11 distrik lain hanya bisa dijangkau via transportasi udara.
"Itu yang membuat kami terkendala lakukan penanganan," kata dia.
Solusi yang dilakukan adalah dengan menyediakan puskesmas udara untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan helikopter yang disewa dengan nilai yang tak sedikit.
Fasilitas dan tenaga medis tak memadai
Innah menambahkan meski hingga kini belum ada laporan kasus Covid-19 di Nduga, namun pemerintah daerah telah mengantisipasi agar pandemi tak menyebar di wilayah itu, dengan melarang pesawat masuk ke Nduga, kecuali pesawat kargo sejak 18 Maret silam.
Namun begitu, sama seperti wilayah lain di Papua, keterbatasan fasilitas sarana kesehatan menjadi kendala di Nduga.
Innah menjelaskan, hingga kini kabupaten itu belum memiliki ventilator untuk menangani pasien Covid-19, sehingga jika ada pasien positif Covid-19 mereka terpaksa dirawat di rumah sakit rujukan di Jayawijaya.
Sementara, hingga kini hanya ada empat dokter di Nduga, terdiri dari dua orang dokter umum dan dua orang dokter spesialis.
"Tenaga analis dan tenaga gizi kurang, yang ada hanya perawat dan bidan yang jumlahnya agak banyak. Tetapi tenaga lainnya itu kami kesulitan," kata dia.
Dia menambahkan, untuk melakukan tes reaksi rantai polimerase (PCR) petugas medis harus mengirimkan sampel ke Jayapura untuk mendapatkan hasilnya.
Hasmi, pakar epidemiliogi dari Univeristas Cendrawasih menjelaskan hingga Mei silam, pengetesan PCR di Papua hanya bisa dilakukan di Litbangkes Jayapura.
Namun pada Mei silam, tiga fasilitas tes lain mulai beroperasi, yakni di Jayawijaya, Mimika dan Biak.
"Alat tes sudah ada, tinggal dites, dikarantina. Saat ini yang jadi kendala begitu dinyatakan positif ada tantangan di masyarakat yang nggak mau diisolasi, nggak mau dikarantina, ini tantangan besar," kata Hasmi.
Kendala fasilitas dan tenaga medis juga dialami oleh provinsi Papua Barat.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, dr Victor Eka Nugrahaputra menjelaskan kini sudah ada penambahan tiga fasilitas tes di Papua Barat yang mempermudah proses pengujian.
Tiga bulan lalu, belum ada satupun unit PCR di Papua Barat, kecuali sebagai tes cepat molukuler (TCM) untuk TBC. Perangkat tes ini kemudian secara bertahap dilengkapi dengan cartridge sehingga sudah bisa menggunakan TCM untuk diagnositk Covid-19.
"Sebelumnya kita harus kirim ke Makassar, atau Jakarta, atau Jayapura," ujar Victor.
"Ke depan bisa prediksi tantangan akan lebih berat, daya dukung harus lebih merata. Sekarang sudah tersedia di Manokwari, Bintuni, Sorong itu daerah-daerah yang diperkuat ketersediaannya," imbuhnya kemudian.
Betapapun, kata Victor, yang harus diwaspadai ke depan terkait penambahan kasus di Papua Barat adalah ketersediaan fasilitas tenaga medis yang minim.
"Saya melihat pandemi ini batu uji hasil kerja keras bertahun-tahun membangun sistem dan subsistem kesehatan. Ketika harus mengakui bahwa sistem dan subsistem belum cukup kuat, harus ada terobosan-terobosan," kata dia.
Potensi gelombang kedua `menerpa`
Hasmi yang juga dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Cendrawasih mewanti-wanti penambahan kasus di pegunungan Tengah dan pembukaan penerbangan di sejumlah daerah berpotensi mengakibatkan gelombang kedua `menerpa` kembali Papua.
Dia menjelaskan kasus Covid-19 di Papua mencapai puncaknya pada 27 Mei silam dengan jumlah penambahan 178 kasus per hari. Dan selama tiga minggu terakhir terus melanda.
"Pemerintah harus betul-betul memperhatikan, terutama daerah pegunungan ini karakter penduduknya agak unik," ujar Hasmi.
Ketika ditanya komitmen pemerintah pusat terkait penanganan Covid-19 di daerah terpencil, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, menegaskan Gugus Tugas Nasional sudah memberi arahan kepada gugus tugas di daerah terkait penanganan kasus Covid-19 di masing-masing daerah.
"Kita serahkan di daerah, apa yang menjadi kesulitan di daerah kita bantu," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya terobosan yang akan berdampak pada percepatan penanganan Covid-19.
"Bisa dilakukan dengan menambah personel dari pusat untuk provinsi-provinsi di luar DKI yang menunjukkan tren penyebaran yang masih tinggi. Bisa dibantu lebih banyak peralatan," ujar Jokowi ketika memberikan pengarahan evaluasi penanganan dampak pandemi Covid-19, Senin (29/06) pagi.
Dia menambahkan pentingnya pelibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam komunikasi publik untuk mengedukasi masyarakat.
"Dan yang penting adalah pengendalian yang terintegrasi sehingga kerja bisa efektif, tidak ada ego sektoral, ego lembaga, ego kedaerahan itu harus dihilangkan," cetusnya.
Hingga Senin (29/06) Papua tercatat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tinggi di wilayah Indonesia Barat, dengan 1.699 kasus. Secara keseluruhan, tercatat 55.092 kasus di Indonesia, dengan Jawa Timur menyumbang kasus terbanyak, sejumlah 11.805.