Rangkap Jabatan Sipil, IPW Nilai Jokowi Terlalu Istimewakan Polisi
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA – Fenomena rangkap jabatan oleh anggota TNI-Polri aktif di posisi sipil makin menggelisahkan aparatur sipil negara. Selain menjadi komisaris, setidaknya ada tiga jenderal polisi aktif duduk di kementerian.
Ketua Presidium Ind Police Watch Neta S Pane mendesak ketiganya segera pensiun dini. “Jika tidak, ya segera mundur dari jabatannya di kementerian maupun komisaris,” kata Neta kepada awak media, Minggu, 28 Juni 2020.
IPW berharap Presiden Jokowi dan kabinetnya jangan mengulang kebobrokan rezim Orde Baru dengan bertingkah seenaknya melanggar UU.
IPW juga mengingatkan, soal rangkap jabatan ini telah diatur di UU TNI Nomor 34/2004. Misalnya di pasal 47 ayat 1 menyebutkan, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keperajuritan.
Berkaitan dengan itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2017 yang melarang TNI dan Polri duduk di jabatan pimpinan tinggi (JPT) aparatur sipil negara (ASN).
"IPW berharap pejabat TNI Polri bisa taat UU. Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa polisi tidak boleh merangkap jabatan di luar tugas-tugas kepolisian, apalagi jika anggota polisi itu masih jenderal aktif," kata Neta.
Sementara di Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan, 'Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian'
Dalam kesempatan sama, IPW juga menyebut Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kelautan dan Perikanan sudah menabrak UU ini. Sebab keduanya mengangkat perwira Polri aktif menjadi pejabat di kementeriannya.
"Perwira tinggi Polri itu tak mundur dari institusinya dan dibiarkan tidak beralih status menjadi ASN. Mereka adalah Komjen Andap Budhi Revianto yang diangkat menjadi Inspektur Jenderal Kemenkumham yang masa aktifnya di Polri masih 5 tahun lagi. Irjen Reinhard Silitonga yang diangkat Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang masa pensiunnya di Polri masih sangat panjang, yakni enam tahun lagi," kata Neta.
Sementara Komjen Antam Novambar yang diangkat sbg Plt Sekjen KPP masa pensiunnya tinggal lima bulan lagi. "Langkah kedua menteri itu tentu akan membuat ASN prustrasi. Seolah alumni Akpol adalah warga negara kelas satu," ujarnya.
Neta menambahkan, Menkumham dan Jokowi yang membiarkan hal ini seakan hendak kembali ke era Orba. Sebab, di era Orba cukup banyak pejabat militer yang menduduki posisi jabatan sipil maupun rangkap jabatan. Era ini yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.
Saat Orba tumbang rakyat mempermasalah soal dwifungsi dan rangkap jabatan militer ini. Sehingga di awal reformasi dwifungsi dan rangkap jabatan ini dihilangkan.
Namun di era Presiden Jokowi, lanjut Neta, rangkap jabatan dan dwifungsi ini muncul lagi dengan gaya baru. Jokowi memberi peran yang cukup besar pada kalangan kepolisian, sehingga muncul istilah dwifungsi Polri. Selain menjadi menteri dan komisaris, cukup banyak posisi sipil yang dipegang jenderal polisi.
"Jika Soeharto memanjakan militer, maka Jokowi sangat memanjakan jenderal polisi. Sepertinya strategi dwifungsi ini adalah strategi balas jasa. Jika Soeharto balas jasa ke kalangan militer, Jokowi melakukan balas jasa ke kalangan Polri," kata Neta.
Jokowi boleh saja menerapkan politik balas jasa seperti Soeharto, tapi ujar Neta, tetap harus patuh dengan UU. Untuk itu jenderal polisi yang menjadi menteri ataupun komisaris BUMN harus mundur dari Polri, seperti yang diamanatkan UU. "Mereka jangan mau seenaknya saja di negeri demokrasi ini," tegasnya.