Alasan Gerhana Matahari Cincin Juni 2020 Disebut Cincin Api Solstis
- VIVAnews/Andri Mardiansyah
VIVA – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan, Gerhana Matahari Cincin (GMC) yang akan berlangsung pada Minggu siang 21 Juni 2020, disebut juga dengan fenomena Cincin Api Solstis. Disebut demikian, lantaran GMC tersebut bertepatan dengan Solstis atau titik balik matahari Juni 2020.
Fenomena serupa, terakhir kali terjadi pada 21 Juni 1648 dan akan terulang kembali pada 19 tahun mendatang atau tepatnya pada 21 Juni 2039.
“Bertepatan dengan Solstis Juni 2020. Maka, juga disebut dengan fenomena Cincin Api Solstis. Fenomena serupa terjadi pada tahun 1645. Waktu itu, Gerhana Matahari Sebagian atau GMS hanya dialami di Sumatera dan Kalimantan untuk wilayah Nusantara,” kata Peneliti Pusat Sains Antariksa Lapan, Andi Pangerang melalui keterangan resminya, Sabtu 20 Juni 2020.
Dijelaskan Andi, Gerhana Matahari merupakan peristiwa di mana Matahari, Bulan dan Bumi berada pada satu garis lurus dan bayangan Bulan jatuh pada permukaan Bumi. Gerhana Matahari kali ini adalah Gerhana Matahari Cincin. Di mana, ketika piringan Bulan nampak sedikit lebih kecil dibandingkan piringan Matahari ketika melintasi piringan Matahari.
Hal ini, karena ujung bayangan gelap (umbra) Bulan tidak jatuh di permukaan Bumi sehingga terbentuk perpanjangan bayangan Bulan yang disebut antumbra. Antumbra inilah yang jatuh ke permukaan Bumi. Sehingga, wilayah yang terkena antumbra akan mengalami gerhana Matahari cincin. Sedangkan wilayah di permukaan Bumi yang terkena bayangan semu (penumbra) Bulan akan mengalami Gerhana Matahari Sebagian.
Sedangkan, Solstis Utara (Northern Solstice) atau Solstis Juni (June Solstice) adalah waktu ketika Matahari berada pada titik balik Matahari (Solstis) Utara. Pada saat inilah Matahari berada pada posisi paling Utara terhadap khatulistiwa langit ketika tengah hari sebelum akhirnya berbalik ke arah Selatan. Jika diamati oleh pengamat di permukaan Bumi, maka Matahari akan terbit, berkulminasi dan terbenam di titik paling Utara sesuai dengan lintang geografis pengamat masing-masing.
Selain itu, durasi siang di belahan Utara Bumi akan lebih lama dibandingkan dengan durasi malamnya. Bahkan untuk wilayah yang berada di Lingkar Kutub Utara (Arctic Circle, lebih besar dari 66,6 derajat Lintang Utara) akan mengalami Matahari Tengah Malam (Midnight Sun). Sebaliknya terjadi di belahan Selatan Bumi yang mana durasi siangnya akan lebih pendek dibandingkan durasi malamnya. Bahkan untuk wilayah Antartika akan mengalami Malam Kutub (Polar Night), yang berarti tidak ada cahaya Matahari sama sekali pada hari itu.
“Solstis Utara, menjadi penanda awal musim panas di belahan Bumi Utara dan awal musim dingin di belahan Bumi Selatan secara astronomis. Berbeda dengan meteorologi yang menggunakan Solstis Utara sebagai pertengahan musim panas di belahan Utara Bumi dan pertengahan musim dingin di belahan Selatan Bumi. Solstis Utara tahun ini bertepatan pada tanggal 21 Juni 2020 pukul 04.43 WIB,” ujar Andi.
Menurut Andi, wilayah yang dilalui jalur GMC antara lain Kongo bagian Utara, Republik Demokratik Kongo bagian Barat Laut, Sudan Selatan, Ethiopia bagian Utara, Eritrea, Yaman, sebagian Arab Saudi bagian Timur, Oman, Pakistan bagian Selatan, India bagian Utara, Daerah Otonomi Tibet, Tiongkok bagian Selatan, Tiongkok Taipei (dan berakhir di Kepulauan Guam. Sedangkan untuk Indonesia, tidak semua wilayah di Indonesia terkena penumbra Bulan sehingga tidak semua wilayah mengalami GMS.
Andi menjelaskan, GMS akan mengalami ketertutupan maksimum di Indonesia jika diamati dari Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Magnitudo gerhana di Miangas ketika puncak gerhana sebesar 56,52 persen dengan obskurasi atau ketertutupan piringan Matahari akibat gerhana sebesar 46,21 persen. Gerhana di Miangas akan dimulai pada pukul 15.22.23 WIT dari arah 24o Barat ke Utara, kemudian mengalami puncaknya pada pukul 16.32.28 WIT dari arah 22o Barat ke Utara dan berakhir pada pukul 17.32.34 WITA dari arah 23o Barat ke Utara menjelang Matahari terbenam.
“Durasi gerhana di Miangas akan berlangsung paling lama dibandingkan di wilayah Indonesia lainnya yakni sebesar 2 jam 10 menit 11 detik,” tutup Andi.