Busyro: Sikap Jokowi Diskriminatif terhadap Kasus Novel Baswedan

Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas
Sumber :
  • VIVAnews/Cahyo Edi

VIVA – Mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas menyebut sikap Presiden Joko Widodo diskriminatif dalam menyikapi perkara penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. 

Jokowi Hadiri Kampanye Akbar Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Grobogan dan Blora

Padahal sudah banyak pegiat antikorupsi memberikan masukan supaya kasus tersebut terbuka seluas-luasnya. Tetapi malah diabaikan, dan memilih jalur yang cenderung tertutup.

“Di rezim Jokowi ada indikator ultra-diskriminatif atau sikap Presiden yang diskriminatif dalam kasus teror terhadap Novel Baswedan,” kata Busyro dalam sebuah diskusi, Jumat, 19 Juni 2020.

Sarapan Bareng Paslon Luthfi-Yasin dan Raffi Ahmad, Jokowi Ngaku Tak Diundang Kampanye di Solo

Menurut Busyro, hingga saat ini, Jokowi tidak merespon permintaan masyarakat sipil untuk membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen. Justru mengamini tim pencari fakta yang notabene dibentuk oleh Polri.

“Isi pernyataan itu adalah memohon kepada Jokowi untuk bentuk TGPF independen terdiri dari Polri, KPK, Komnas HAM dan unsur masyarakat sipil, atas desakan kami unsur masyarakat sipil. Apa sikap presiden, sampai saat ini nihil besar,” kata Busyro.

Sarapan Bareng Ahmad Luthfi, Jokowi: Calon Pemimpin Harus Mampu Yakinkan Rakyat

Apalagi, lanjut Busyro, ada banyak kejanggalan dalam proses peradilan kasus Novel. Dua terdakwa adalah anggota Polri, disidik oleh anggota Polri, dan dibela serta dicarikan pengacara oleh tim Polri. Sementara Presiden Jokowi menurutnya, masih saja tutup mata dengan itu semua.

“Ada kejanggalan dalam peradilan sekarang, terdakwa anggota aktif Polri, disidik Polri, dibela, dicarikan pembela dan unsur pembela dari Polri, nalar hukum seperti apa apakah ini nalar hukum Pancasila? Polri yang proses, Polri yang sediakan pengacara,” kata Buayro yang juga Ketua PP Muhammadiyah.

Tak hanya itu, Buayro juga menilai terdapat kejanggalan besar dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Yaitu barang bukti yang berubah dari air keras menjadi air aki. Lalu saksi kunci yang tidak diperiksa, bahkan ada pembuktian yang dipaksakan.

“Hasil Komnas HAM dicampakan dan berujung pada tuntutan JPU hanya 1 tahun dengan catatan jaksa ini wakil negara dibawah Jaksa Agung dan Jaksa Agung di bawah Presiden,” kata Busyro.

Untuk itu, Busyro menyimpulkan dari kejanggalan tersebut, kasus teror terhadap para pegawai di KPK, serta kasus yang menimpa Novel Naswedan adalah indikator dominannya oligarki bisnis dan politik.

“Maka saya teruskan bahwa teror terhadap KPK maupun Novel Baswedan merupakan indikator merupakan tanda semakin jelas semakin dominannya para dominator oligarki bisnis dan politik,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya