Pria Diperiksa Polisi karena Humor Gus Dur, Alissa: Intimidasi Negara
- Repro Instagram
VIVA – Seorang warga Kepulauan Sula, Ismail Ahmad harus berurusan dengan polisi karena mengunggah humor yang pernah disampaikan KH. Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur di akun media sosialnya. Humor Gus Dur itu diunggah oleh Ismail pada Jumat, 12 Juni 2020 yang lalu.
Ismail pun sempat dipanggil oleh pihak Polres Kepulauan Sula pada Rabu, 17 Juni 2020 untuk dimintai klarifikasi mengenai unggahan di akun media sosialnya. Ismail pun sempat menyampaikan permintaan maafnya kepada pihak Kepolisian atas unggahannya itu.
Menanggapi pemanggilan Ismail oleh pihak kepolisian, Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid pun angkat bicara. Alissa menerangkan bahwa Gus Dur kerap menyampaikan kritikan dengan cara lelucon atau humor.
"Bagi Gus Dur, rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain," ujar Alissa dalam keterangan tertulisnya, Rabu 17 Juni 2020.
"Menjadikan humor sebagai ‘barang bukti’ kasus pencemaran nama baik institusi adalah bentuk kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris," imbuh Alissa.
Putri sulung Gus Dur ini menilai meskipun kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, namun pemanggilan terhadap Ismail oleh Polres Sula adalah bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya. Alissa menyebut jika pemanggilan itu menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia.
Alissa menuturkan bahwa Jaringan Gusdurian mengapresiasi Ismail Ahmad yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan cara mengekspresikan dan menyatakan pendapatnya melalui platform media sosial.
"Jaringan Gusdurian meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekspresikan dan menyatakan pendapat melalui media apapun. Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh aparat penegak hukum," ungkap Alissa.
"Penggunaan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tidaklah tepat karena pasal pencemaran baik hanya berlaku untuk subjek perseorangan, bukan terkait dengan lembaga apalagi pemerintah," sambung Alissa.
Alissa menuturkan Jaringan Gusdurian meminta lembaga legislatif untuk mengevaluasi, merevisi, dan/atau bahkan menghapus UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
"Jaringan Gusdurian mengajak kepada seluruh Gusdurian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat, salah satunya dengan terus membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam," tegas Alissa.