Jaksa Kasus Penyiram Novel Hidup Glamor, YLBHI: Itu Langgar Aturan

VIVA – Foto-foto hidup glamor yang dipamerkan salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara penyiraman air keras terhadap Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan, Fedrik Adhar, di akun media sosialnya terus menjadi perbincangan publik.

Gugatan Praperadilan Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Ditolak, Begini Alasannya

Berdasar Laporan Harta Kekayaan Negara (LHKPN) di KPK, Jaksa Fedrik Adhar memiliki total harta kekayaan sebesar Rp5,8 miliar yang disetorkannya pada tahun 2018.

Menanggapi itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Asfinawati, menilai seorang Jaksa yang notabene adalah pegawai negeri tidak sepatutnya memamerkan gaya hidup mewah.

Harvey Moeis Bingung dari Mana Negara Rugi Rp300 Triliun di Kasus Timah: Masyarakat Kena Prank!

Menurut Asfinawati, perilaku demikian bisa melanggar kode etik kejaksaan dalam Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INS-013/J.A/10/1993 Tanggal 28 Oktober 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pola Hidup Sederhana Bagi Aparatur Negara Di Lingkungan Kejaksaan RI dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

Selain itu, lanjut Asfinawati, Jaksa yang memamerkan gaya hidup mewah juga bisa melanggar Undang Undang Nomor 5 Nomor 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan disiplin Pegawai Negeri sebagaimana Surat Edaran MenPanRB Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Gerakan Hidup Sederhana.

Terkuak, Ini Lokasi Suap Tiga Eks Hakim PN Surabaya Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur

"Baik UU, disiplin pegawai negeri, maupun etika, sudah dilanggar semua itu aparat penegak hukum yang hidupnya mewah. Ada surat edaran larangan bergaya hidup mewah juga dari MenpanRB," kata Asfinawati kepada awak media, 16 Juni 2020.

Asfinawati lebih jauh menuturkan, besarnya harta kekayaan seorang penyelenggara negara, apalagi penegak hukum seperti Jaksa juga perlu mendapat perhatian dari pihak kejaksaan sendiri. Pasalnya, tidak masuk akal jika gaji seorang jaksa mencapai miliaran rupiah.

"Atasan (Kejaksaan) seharusnya melihat kemungkinan adanya indikasi korupsi. Karena dari gajinya tidak mungkin bisa bergaya hidup seperti itu," ujarnya.

Hal aneh lainnya, kata Asfinawati, jaksa tersebut ditunjuk untuk menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Padahal, sudah jelas berdasarkan laporan Komnas HAM terkait kasus Novel itu berkaitan dengan kasus yang ditangani Novel Baswedan di KPK, bukan pada Kejaksaan.

"Lebih aneh lagi ditunjuk untuk kasus Novel. Jelas temuan lembaga negara misal Komnas HAM, penyiraman terkait pekerjaan Novel yaitu KPK," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya