Refly Harun Ingatkan Pancasila Jangan Jadi Undang-Undang

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun saat berkunjung ke kantor VIVA di Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVAnews - DPR tengah membahas Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Menurut Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, dengan menjadikan Pancasila sebagai sebuah UU, berpotensi menjadikan Pancasila sebagai alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan lawan politiknya.

Haris Rusly Moti: PPN 12 Persen Produk PDIP Sebagai Ruling Party

"Pancasila yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, akan menjadi alat pemecah belah rakyat Indonesia," kata Refly dalam diskusi virtual yang Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII), kemarin.

Lebih dari itu, lanjut Refly, mereka yang mendukung pemerintah dianggap sebagai Pancasilais, sedangkan mereka yang mengkritik pemerintah diposisikan sebagai anti Pancasila, tidak Pancasilais.

Masa Reses DPR, Once Mekel Datangi Dapil Serap Aspirasi Soal KJP hingga Kartu Lansia

"Padahal yang harus diwaspadai adalah mereka para koruptor sebagai tidak Pancasilais tapi berlindung di balik kekuasaan yang mengaku paling Pancasilais,” kata Refly.

Menurut Refly Harun, sekarang ini masyarakat tidak butuh atau tidak perlu dengan RUU HIP. Alasannya karena dalam RUU HIP, terjadi reduksi dan degradasi makna Pancasila hanya menjadi ideologi dan dasar negara.

Gus Yahya: Masyarakat Perlu Dengar Penjelasan Pemerintah soal PPN 12 Persen

"Padahal Pancasila memilik fungsi dan peran yang banyak di antaranya sebagai filsafah pandangan hidup bangsa, sebagai filter terhadap nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa," katanya.

Selain itu, lanjut dia, nilai-nilai Pancasila sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesai ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, pada masa kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit.

Refly menambahkan persoalan utama pengamalan Pancasila bukan pada masyarakat tapi pada negara. Karena amanah pembukaan UUD 1945 tentang tujuan bernegara itu seharusnya tanggung jawab negara (eksekutif) bukan rakyat.

"Jadi untuk mewujudkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan kerakyatan dan keadilan sosial, maka itu kewajiban negara untuk memenuhi dan melaksanakan perintah konsitusi. Kewajiban warga negara adalah taat dan patuh terhadap hukum," kata Refly.

Sementara itu, Ketua Umum PP KBPII, Nasrullah Larada, menegaskan bahwa RUU HIP ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Salah satunya adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia.

Menurut Nasrullah, RUU HIP ini diharapkan tidak menimbulkan pertentangan di masyarakat dalam kondisi di mana masyarakat masih diliputi wabah Pandemi Covid 19. Karena jika sebuah RUU menimbulkan pertentangan di masyarakat, maka disitulah muncul banyak kemudharatan.

"KB PII sebagai bagian dari mata rantai Umat Islam, yang memiliki spirit membangun Indonesia jaya, merasa perlu terlibat dan melibatkan dalam merumuskan dan menentukan haluan dasar ideologi negara agar tidak bertentangan dengan kepentingan umat Islam," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya