Soal Pemblokiran Internet, LBH Pers: Tak Ada Tuntutan Permintaan Maaf

Warga Papua menyalakan lilin saat aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah, Mimika, Papua, Senin (19/8/2019). Pemblokiran internet di Papua untuk mencegah penyebaran hoax terkait kerusuhan masih diterapkan pemerintah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding

VIVA – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah dalam melakukan pemblokiran internet di Papua pada Agustus 2019 lalu. 

Kuota Roaming 100GB hanya Rp40 Ribu, Daya Jangkau hingga Negara Dekat Kutub Selatan

Usai putusan itu, pemberitaan sempat diramaikan dengan tuntutan Presiden Joko Widodo dan Menkominfo Johnny G Plate untuk meminta maaf melalui media massa nasional. Namun, tuntutan permintaan maaf itu adalah kekeliruan. 

Hal tersebut disampaikan Direktur LBH Pers Ade Wahyudin dalam konferensi pers secara virtual, Kamis 4 Juni 2020. Menurut Ade, memang sejak awal penggugat menuntut agar Presiden dan Menkominfo untuk minta maaf, namun dalam perjalanannya, tuntutan itu berubah.

Realme C75, Harga Rp2 Jutaan tapi Bisa Komunikasi Tanpa Internet

"Memang terjadi beberapa perubahan dalam teknis gugatan, yang kita tahu bahwa teman-teman wartawan juga mendapat kekeliruan terkait dengan adanya putusan dan petitum yang berbeda. Dalam kesempatan ini, kita akan berikan klarifikasi bahwa yang tertera di dalam SIP PTUN Jakarta itu adalah gugatan awal kami sebelum adanya sidang pendahuluan," kata Ade.

Ade mengatakan, pada sidang pendahuluan, sebagai penggugat pihaknya banyak mendapatkan masukan dari majelis hakim. Karena ada kekhawatiran terkait jalannya teknis persidangan, penggugat memutuskan untuk mengubah tuntutan dan menarik tuntutan yang menyatakan Presiden dan Menkominfo harus meminta maaf.

Jenderal Polisi Jadi Penjaga Internet Indonesia, Siap Bersih-bersih Sampah Digital

"Pada sidang pendahuluan di dalamnya terdapat masukan dari majelis hakim setelah sidang pendahuluan, tuntutan kami terkait dengan permintaan maaf itu kami drop karena ada kekhawatiran terkait teknis di pengadilan," ujar Ade.

Sehingga, menurut Ade, pemberitaan yang saat ini beredar jika PTUN memutuskan Presiden dan Menkominfo untuk meminta maaf, adalah kekeliruan namun bukan merupakan berita hoaks. Sebab, dari awal memang ada tuntutan semacam itu yang dilayangkan oleh LBH Pers.

"Jadi memang tidak ada Hoaks, memang benar kami mengajukan gugatan pada saat awal-awal seperti itu. Jadi tidak ada yang salah. Tapi akhir putusan ini, itu tidak ada tuntutan terkait permintaan maaf. Tuntutan permintaan maaf itu tidak ada," ujarnya.

Respons Bijaksana

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI) M. Isnur mengatakan, pemerintah mestinya merespons kekalahan gugatan dengan baik dan bukan menganggap penggugat sebagai musuh negara. Menurut dia, langkah yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan sudah sangat tepat dan dijamin oleh undang-undang.

"Ini dalam ranah yang konstruktif, dalam ranah memperbaiki negeri ini dalam ranah mengingatkan ada yang salah dengan pengelolaan. Jangan dianggap sebagai orang yang ingin mengganggu NKRI, ingin mengacak-acak membuat gaduh. Tidak seperti itu," kata Isnur dalam konferensi pers secara virtual, Kamis, 4 Juni 2020.

Presiden dan Menkominfo, menurut dia, mestinya dapat melakukan langkah yang lebih baik, bukan dengan cara banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK) yang seakan tidak terima dengan kekalahan. Saat ini, Isnur menambahkan, pemerintah harus merespons gugatan dengan lebih bijaksana dan mendengar apa yang disuarakan warga negara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya