Asisten Pribadi Imam Nahrawi Dituntut 9 Tahun Penjara
- VIVAnews/ Edwin Firdaus
VIVA – Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana sembilan tahun penjara terhadap terdakwa Miftahul Ulum.
Asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi itu juga dituntut dengan hukuman denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 9 tahun dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar jaksa KPK Ronald Worotikan membacakan surat tuntutan Miftahul Ulum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 4 Juni 2020.
Jaksa meyakini Ulum terbukti bersalah menerima suap Rp11.500.000.000 bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Uang suap itu untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun anggaran 2018.
Jaksa juga meyakini Ulum terbukti bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp8.648.435.682 bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Ulum berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.
Menurut jaksa, perbuatan Ulum melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, dan Pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan amar dengan putusan sebagai berikut menyatakan terdakwa Miftahul Ulum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua," kata jaksa Ronald.
Dalam menjatuhkan tuntutan, tim jaksa KPK mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa dianggap telah menghambat perkembangan dan prestasi atlit Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang olahraga. Terdakwa tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukan. Terdakwa juga memiliki peran yang sangat aktif dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga.
Pada perkaranya, Miftahul Ulum didakwa menerima suap Rp11.500.000.000 bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Uang berasal dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI, Johnny E Awuy.
Menurut jaksa, uang itu untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun anggaran 2018. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
Miftahul Ulum bersama-sama dengan Imam Nahrawi menerima fee dari Ending Fuad Hamidy dan Johnny E Awuy terkait sejumlah proposal yang diajukan KONI. Proposal itu yakni, terkait bantuan dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018.Â
Kemudian, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.
Selain itu, Ulum juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp8.648.435.682 bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Ulum berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.
Sedikitnya ada lima sumber uang gratifikasi yang diterima Ulum untuk kemudian diserahkan kepada Imam Nahrawi. Rincian yang dibeberkan Jaksa, uang sebesar Rp300 juta diterima Ulum dari Sekretaris Jendral KONI Ending Fuad Hamidy. Uang itu, diperuntukan sebagai biaya tambahan operasional Imam Nahrawi saat berkegiatan dalam acara Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.
Kedua, Ulum menerima uang sebesar Rp4,9 miliar dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora periode 2015-2016. Uang itu, diperuntukkan sebagai dana operasional tambahan perjalanan dinas Imam Nahrawi. Kata jaksa, uang tersebut diterima Ulum secara bertahap dengan 38 kali pemberian dalam rentang waktu 2015 hingga 2016.
Kemudian, Ulum menerima uang sebesar Rp2 miliar dari Lina Nurhasanah. Namun, uang itu diperuntukkan sebagai pelunasan pembayaran jasa desain konsultan arsitek untuk pemugaran kediaman Imam dan usaha butik dan kafe istri Imam Nahrawi. Uang itu diberikan Lina kepada Ulum berasal dari dana akomodasi atlet pada anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).
Selanjutnya, Ulum menerima uang sebesar Rp1 miliar dari Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada program Satlak Prima Kemenpora tahun anggaran 2016-2017.
Terakhir, Ulum menerima uang sebesar Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018. Transaksi uang itu dilakukan di area parkir kantor Kemenpora pada 2018. Uang itu diberikan sebagai honor untuk kegiatan Satlak Prima. Padahal, program tersebut telah resmi dibubarkan pada Oktober 2017.