Mengapa Angka Kematian Anak Akibat Virus Corona di Indonesia Tinggi?
- abc
Awal pekan lalu (01/06), Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi mengatakan, Presiden Jokowi akan menunda masuk sekolah sampai akhir tahun 2020 karena "terlalu besar risikonya untuk anak".
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mendorong gerakan akar rumput untuk mengatasi pandemi. (Supplied: Dr Hermawan Saputra)
Meski menyambut baik upaya pemerintah yang menunda masuk sekolah hingga akhir tahun 2020, IDAI mengingatkan, rencana ini tidak cukup.
"Kami apresiasi [penundaan masuk sekolah]. Tapi kapasitas tes juga harus ditambah dan pelayanan kesehatan untuk anak terus berjalan," kata Aman.
Untuk keperluan ekstrapolasi data secara akurat, IDAI menyarankan agar pemerintah dan pihak swasta melakukan pemeriksaan rt-PCR secara masif, yakni 30 kali lipat dari jumlah kasus konfirmasi COVID-19, termasuk juga pada kelompok usia anak.
Sementara itu, dr Hermawan mengakui memang ada tantangan topografi, geografi, dan demografi Indonesia jika dikaitkan dengan kapasitas deteksi atau tes COVID-19.
Namun, menurutnya masyarakat bisa melakukan community-based fighting initiative, di mana masyarakat mulai dari RT, RW, Kepala dusun atau kampung, berinisiatif menyadarkan masyarakatnya, termasuk untuk melakukan isolasi mandiri.
"Bila memang ada kebutuhan pelayanan atau penanganan kesehatan, barulah kelompok ini berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan lanjut seperti puskesmas atau rumah sakit," kata dr Hermawan.
Tetapi untuk "new normal", Hermawan berpendapat, kondisi ini belum pantas diwacanakan seperti yang sudah diributkan saat ini.
"The New Normal di Indonesia belum pantas diwacanakan saat ini, pada awal Juni. Mungkin bisa diwacanakan pekan keempat Juni untuk implementasinya pada Juli atau Agustus, itupun dengan prasyarat-prasyarat yang cukup komprehensif," pungkasnya.
Simak juga: VIVAnews Pantau Corona