PTUN Jakarta: Jokowi dan Menkominfo Bersalah Blokir Internet di Papua
- bbc
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika telah melanggar hukum atas pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada periode Agustus - September 2019.
Presiden RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika merupakan tergugat dalam perkara ini.
"Mengabulkan gugatan para penggugat," kata Hakim Ketua PTUN Jakarta, Nelvy Christin saat membacakan putusan, Rabu (03/06).
Sejauh ini belum ada tanggapan pemerintah atas putusan PTUN ini, namun selama persidangan mereka menyatakan kebijakan itu sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam amar putusannya, PTUN juga menyatakan pemerintah telah melanggar hukum telah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat. "Menghukum tergugat 1 dan tergugat 2 membayar biaya perkara sebesar Rp457.000," kata Nelvy.
Pelambatan dan pemutusan internet di beberapa wilayah di Papua terjadi tak lama setelah insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua, pertengahan Agustus 2019.
Peristiwa itu diikuti beberapa kerusuhan, antara lain di Manokwari dan Sorong.
Sepanjang periode itu, Kominfo mengklaim memblokir 713.166 tautan internet yang berisi berita bohong soal insiden rasisme di Surabaya.
Hakim PTUN menyatakan, pemerintah Indonesia diwajibkan untuk memuat permintaan maaf atas kebijakan tersebut secara terbuka di tiga media massa, enam stasiun televisi nasional, tiga stasiun radio selama sepekan.
"Ini wajib dilakukan maksimal sebulan setelah putusan," demikian amar putusan.
Selain itu, "menghukum para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat," kata Hakim.
Dikatakan apabila pemerintah melakukan upaya banding, menurut hakim, putusan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
"Menyatakan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum," demikian putusan PTUN.
Bagaimana gugatan ini berawal?
Pada 22 Januari 2020 lalu, PTUN mulai menggelar sidang perdana gugatan pelambatan dan pemutusan jaringan internet Papua oleh pemerintah pada Agustus-September 2019.
Dalam sidang perdana, penggugat yang merupakan koalisi masyarakat sipil meminta hakim menyatakan keputusan pemerintah itu sebagai perbuatan melawan hukum.
Di sisi lain, meski tak menghadiri sidang, pemerintah saat itu menyatakan bahwa kebijakan itu sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Para pegiat menyatakan pelambatan dan pemutusan internet di Papua dituding melanggar beberapa ketentuan hukum, di antaranya UU 40/1999 tentang Pers dan UU 12/2005 yang mengatur kebebasan mencari, menerima, serta memberi informasi.
Ade Wahyudin, kuasa hukum penggugat, menuduh kebijakan itu mengganggu kerja jurnalistik pewarta dan media massa di Papua saat itu.
Ade mengatakan klaim Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) untuk mencegah penyebaran berita bohong (hoaks), seiring kerusuhan yang Agustus lalu terjadi di beberapa kota di Papua, justru menyebabkan kesimpangsiuran informasi.
"Media yang ingin melakukan verifikasi justru tidak bisa bekerja. Artinya informasi yang di luar Papua tetap beredar, sedangkan jurnalis di Papua tidak bisa mengklarifikasi yang beredar di Jakarta," kata Ade via telepon usai sidang.
Ade menilai hakim perlu menyatakan keputusan pemerintah itu `melawan hukum` agar tak kembali diterapkan di masa mendatang.
Ia khawatir, tanpa putusan itu pemerintah akan memiliki preseden membatasi akses internet warga negara.
"Dalam beberapa pernyataan Kominfo akan meneruskan blokir dan shut down ini. Kalau tidak pernyataan melanggar hukum, kalau ada konflik, pemutusan internet akan sering dilakukan," ujar Ade.
"Kami ingin membuktikan tindakan itu tidak berdasarkan undang-undang sehingga pemerintah tidak bisa sewenang-wenang memutus internet," kata dia.
Apa alasan pemerintah pusat di balik kebijakan pembatasan internet?
Namun seperti pernyataan resmi sebelumnya, Kominfo kembali menyatakan tidak ada yang keliru dengan pembatasan dan pemutusan internet selama beberapa waktu di Papua.
Juru Bicara Kominfo, Ferdinandus Setu, menyebut itulah yang akan dinyatakan pihaknya kepada hakim dalam sidang berikutnya.
"Itu dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat karena ada kerusuhan di beberapa tempat dan penyebaran hoax yang cukup masif. Itu sesuai amanat UU informasi dan transaksi elektronik," ucapnya saat dihubungi.
"Kalau terjadi lagi situasi seperti di Papua, mau tidak mau itu akan dilakukan lagi," kata Ferdinandus.
Pelambatan dan pemutusan internet di beberapa wilayah di Papua terjadi tak lama setelah insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua, pertengahan Agustus 2019.
Peristiwa itu diikuti beberapa kerusuhan, antara lain di Manokwari dan Sorong.
Sepanjang periode itu, Kominfo mengklaim memblokir 713.166 tautan internet yang berisi berita bohong soal insiden rasisme di Surabaya.
Meski begitu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri, antara lain, dari Aliansi Jurnalis Independen, KontraS, YLBHI, dan Elsam, menyebut kebijakan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.
"Negara yang mempraktikan pemutusan internet tingkat demokrasinya lebih parah dari Indonesia," kata Ade Wahyudi.
"Apakah kita ingin berkiblat ke sana? Klaim pemutusan internet memutus hoaks tidak bisa semudah itu dilakukan," ujar Ade.
Selain di Indonesia, pemutusan internet selama 2019 juga diterapkan pemerintah China di Provinsi Xinjiang dan pemerintah India di Kashmir.
Beberapa negara Afrika juga pernah melakukan hal serupa, antara lain Zimbabwe, Republik Demokratik Kongo, Chad, dan Ethiopia.
Catatan:Â
Redaksi telah meralat berita karena terdapat kekeliruan didalamnya. Berita ini adalah sindikasi/kerjasama antara BBC dan VIVAnews. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
Â